Reporter: Namira Daufina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rebound harga tembaga diperkirakan hanya terjadi sementara. Dorongan kenaikan tipis ini karena pasar mengantisipasi rilis data ekonomi China pada Rabu (1/4) mendatang.
Mengutip Bloomberg, Senin (30/3) pukul 03:01 pm Hong Kong mencatat harga tembaga merangkak naik 0,64% ke level US$ 6.094 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Begitu pun dalam sepekan terakhir harga tembaga masih melorot 0,42%.
Ibrahim, Direktur dan Analis PT Ekuilibrium Komoditi Berjangka memaparkan bahwa kenaikan sementara ini hanya karena pasar sedang melakukan aksi wait and see. Perilaku pasar yang wait and see memberi peluang bagi harga tembaga untuk naik tipis.
Salah satunya menanti rilis data manufaktur China yang nantinya akan menjadi sinyal kondisi perekonomian China ke depannya. “Dilihat dari prediksi data yang akan rilis, China masih akan mengalami perlambatan ekonomi dan belum keluar dari masa krisisnya,” kata Ibrahim.
Hal ini karena menurut dugaan pasar, data PMI Manufaktur China Maret 2015 mengalami penurunan menjadi 49,7 dari bulan Februari 2015 yakni 49,9.
Tapi HSBC Final Manufaktur PMI China Maret 2015 diprediksi naik tipis menjadi 49,3 dari sebelumnya hanya 49,2. Menurut Ibrahim, kenaikan tipis ini belum melegakan. Penyebabnya adalah angka manufaktur yang masih berada di bawah level 50 memperlihatkan bahwa perekonomian China masih belum ekspansi.
Ini jelas tidak bagus bagi harga komoditas terutama tembaga. “Akibatnya kenaikan ini hanya sementara. Pada Selasa (31/3) harga tembaga akan kembali tersungkur,” duga Ibrahim.
Pasalnya secara fundamental kondisi di pasar belum berubah. Perlambatan ekonomi di banyak negara konsumen logam masih terjadi sehingga permintaan tembaga masih lesu.
Salah satu penekan utama harga tembaga adalah data industrial profit China yang telah turun 4,2% sepanjang Januari – Februari 2015 dibanding tahun sebelumnya. Dengan buruknya data ekonomi China ini, terlihat bahwa permintaan China sebagai salah satu konsumen terbesar logam global masih lesu.
Belum lagi aturan baru yang diterapkan oleh Menteri Tanah dan Sumber Daya China yang telah memerintahkan beberapa kota dan kabupaten untuk menunda dan mengurangi pasokan lahan baru.
Berdasarkan publikasi kementerian China seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (27/3) bahwa kebijakan ini dilakukan guna mengontrol fase konstruksi pembangunan rumah baru yang sudah kelebihan stok di China.
Persoalan penurunan permintaan tembaga ini tidak hanya berasal dari China tapi juga dari Amerika Serikat. “Keadaan ini terlihat dari buruknya rilis data Durable Goods Orders AS,” tambah Ibrahim.
Data Durable Goods Orders AS Februari 2015 tercatat menurun tajam hanya minus 0,4%. Padahal diprediksi bisa menyentuh 0,3% atau seharusnya naik dari Januari 2015 yakni 0,0%.
Di saat permintaan belum membaik, kembali beroperasinya pertambangan di Chile yang sempat terhenti karena cuaca beberapa waktu lalu. “Dengan beroperasinya tambang di Chile maka stok tembaga akan kembali melesat, sementara stok yang ada juga masih berlimpah,” jelas Ibrahim.
Perusahaan tambang pemerintah Chile, Codelco, kembali mengoperasikan empat pertambangannya di Gurun Atacama pada Kamis (26/3) lalu. Padahal pemberhentian aktivitas pertambangan pada hari sebelumnya telah mampu mengurangi pasokan produksi sekitar 1,6 juta metrik ton di Chile dan Peru.
“Penurunan harga tembaga ini bahkan bisa terjadi dalam jangka waktu mingguan,” prediksi Ibrahim.
Ini jika melihat pada keadaan bahwa grafik teknikal juga menunjukkan belum ada perubahan tren. Harga tembaga masih bergelut dalam tren bearish.
Secara teknikal, saat ini indikator moving average (MA) dan bollinger band berada di level 20% di atas bollinger bawah yang artinya penurunan lebih lanjut masih akan terjadi. Stochastic juga di level 70% negatif yang mengarah ke bawah. Hanya indikator relative strength index (RSI) 60% positif yang mengarah naik.
Garis moving average convergence divergence (MACD) masih memperlihatkan pergerakan wait and see. “Harga Selasa (31/3) bisa bergerak di kisaran US$ 5.910 – US$ 6.100 per metrik ton,” papar Ibrahim.
Untuk sepekan mendatang harga bisa berada di antara support US$ 5.700 dan resistance US$ 6.120 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News