Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah saham anggota indeks LQ45 tercatat memiliki price to earning ratio (PER) rendah. Saham–saham tersebut antara lain PT XL Axiata Tbk (EXCL) dengan PER sebesar -117,22, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) -69,17, PT Indika Energy Tbk (INDY) 4,49%, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) 5,04%, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) 5,40%, dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) 6,33%.
Sebagai informasi, PER adalah perbandingan antara harga saham dengan laba bersih per saham. Penurunan harga saham di bursa secara otomatis akan menurunkan pula nilai PER kalau pada saat yang sama tidak terjadi perubahan laba bersih per saham. Secara umum ada anggapan bahwa semakin kecil angka PER maka semakin murah pula harga saham tersebut dibanding saham-saham lain dalam sektor usaha yang sama.
Lalu bagaimana dengan kinerja dari emiten yang memiliki PER rendah seperti yang disebutkan di atas? Apakah angka PER tersebut juga ikut mencerminkan bagaimana kinerja emiten tersebut?
Analis Panin Sekuritas William Hartanto menyebut, angka PER bisa dibilang sesuai dengan kinerja suatu emiten. Pasalnya, angka PER dihasilkan dari perhitungan harga saham dibagi dengan laba per saham atau earning per share (EPS).
Jika EPS negatif maka PER akan ikut negatif, begitupun sebaliknya ketika EPS positif. “Prospek bagus untuk yang positif, saham dengan PER negatif menunjukkan kinerja yang buruk,” kata dia kepada Kontan.co.id pada Senin (14/1).
PER merupakan salah satu indikator fundamental utama yang selama ini digunakan oleh investor sebelum melakukan pembelian saham. Karena saham dengan PER tinggi punya potensi mengalami kenaikan di masa yang akan datang atau dengan kata lain layak untuk dikoleksi sebagai investasi jangka panjang bukan hanya sekadar aktivitas trading atau scalping saja.
“PER tidak selalu jadi acuan, investor bisa juga gunakan return of investment (ROI) dan price to book value (PBV) juga, untuk ROI yang bagus ada di atas 20%,” kata William.
PBV merupakan indikator yang digunakan dengan penghitungan membagi harga saham yang ada di pasar saham dengan nilai buku atau book value dari suatu emiten. Book value adalah nilai dari ekuitas dibagi jumlah saham yang ada. Bisa dikatakan book value adalah nilai ekuitas per saham.
Saham yang memiliki rasio PBV yang besar bisa dikatakan memiliki valuasi yang tinggi (overvalue) sedangkan saham yang memiliki PBV dibawah 1 memiliki valuasi yang rendah alias undervalue.
Asal tahu saja, rasio PBV berguna khususnya untuk valuasi saham dalam industri keuangan seperti bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek dan asuransi mengingat sekitar 90% aset perusahaan ini dalam bentuk kas, surat berharga dan tagihan.
Kemudian ROI adalah rasio yang menunjukkan hasil dari jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan atau suatu ukuran tentang efisiensi manajemen. ROI menunjukkan hasil dari seluruh aktiva yang dikendalikan dengan mengabaikan sumber pendanaan, rasio ini biasanya diukur dengan persentase.
Dari sejumlah saham dengan PER rendah tersebut, William memilih WSKT dan SRIL.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News