Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor terus menimbang dampak stimulus pemerintah China terhadap pasar pasar mata uang. Langkah pemulihan ekonomi China sejauh ini dinilai belum mampu menciptakan sentimen risk-on di kawasan Asia.
Seperti diketahui, People’s Bank of China (PBoC) mengumumkan pekan lalu bahwa mereka akan mengurangi rasio persyaratan cadangan bank sebesar 50 basis poin bulan depan dalam upaya untuk mendukung perekonomian negara yang sedang kesulitan. Langkah ini diharapkan dapat memberikan sekitar 1 triliun yuan modal jangka panjang bagi perekonomian.
Di tempat lain, kabinet China berjanji untuk menstabilkan pasar modal. Para pembuat kebijakan dilaporkan berupaya untuk mengerahkan sekitar 2 triliun yuan, terutama dari rekening luar negeri perusahaan-perusahaan milik negara China.
Pengamat Mata Uang Ariston Tjendra memandang, setiap stimulus tentunya bagus untuk pemulihan ekonomi. Ini bisa memberikan sentimen positif untuk harga aset berisiko termasuk rupiah, mengingat China adalah mitra dagang terbesar Indonesia.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,02% ke Rp 15.825 Per Dolar AS Pada Senin (29/1)
Mengutip Bloomberg, Rupiah spot membuka perdagangan awal pekan ini dengan kenaikan sebesar 0,09% ke posisi Rp 15.810 per dolar Amerika Serikat (AS), Senin (29/1). Rupiah melanjutkan tren pelemahan tipis, setelah terpantau melemah 1,34% selama pekan lalu terhadap dolar AS.
Di Asia, mayoritas mata uang menguat terhadap dolar AS. Baht Thailand mencatat penguatan terbesar yakni 0,31%, disusul yen Jepang yang naik 0,26%, dolar Taiwan naik 0,17%, rupiah naik 0,09%, peso Filipina naik 0,05%, won Korea naik 0,04%, dolar Singapura naik 0,02% dan dolar Hong Kong naik 0,006% terhadap dolar AS.
Namun, Ariston menegaskan bahwa pasar perlu melihat hasil dari stimulus China tersebut ke data-data ekonomi negeri tirai bambu tersebut. Penting untuk melihat apakah benar stimulus ini sudah cukup untuk pemulihan ekonomi China, atau perlu stimulus lanjutan.
“Jadi stimulus China ini tidak serta merta menaikkan harga aset berisiko Asia,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (29/1).
Selain itu, Ariston menyoroti bahwa penggerak rupiah tidak hanya berasal dari China. Kondisi ekonomi dan kebijakan moneter Amerika sangat berpengaruh, demikian juga situasi ketegangan geopolitik yang belum mereda.
Baca Juga: Berbalik, Rupiah Melemah Tipis ke Rp 15.827 Per Dolar AS Pada Siang Hari Ini (29/1)
Situasi panas di Timur Tengah yang melibatkan banyak negara termasuk AS dan juga perang di Ukraina sedikit banyak menjadi kekhawatiran pelaku pasar dan setiap ketegangan meninggi. Sehingga dolar AS sebagai aset aman berpotensi menguat lagi.
“Kedua faktor tersebut mungkin lebih menjadi sorotan pasar dibandingkan China saat ini,” imbuh Ariston.
Selanjutnya, fokus pasar akan tertuju pada arah suku bunga The Fed. Akhir bulan Januari 2024 ini terdapat rilis kebijakan The Fed untuk mengukur kembali apakah The Fed apakah the Fed masih memberikan penekanan tidak terburu-buru memangkas suku bunga acuannya.
Dari dalam negeri, lanjut Ariston, rupiah dipengaruhi oleh sentimen pemilihan umum (pemilu). Meskipun Indonesia sudah melewati banyak pemilu dengan damai, tapi sedikit banyak pemilu juga mendorong sebagian pelaku pasar wait and see menunggu kejelasan siapa pemimpin baru dan kebijakan perekonomian dan investasinya.
“Jadi pemilu bisa menyumbang efek negatif ke aset berisiko,” tambahnya.
Menurut Ariston, dalam jangka pendek, potensi pelemahan rupiah masih terbuka lebar. USD/IDR diperkirakan berpeluang naik ke level Rp 15.960 per dolar AS - Rp 16.000, level tertinggi yang dicapai Oktober 2023 lalu. Sementara potensi penguatan ke level support di sekitar Rp 15.600.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News