Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Pemerintah mengoptimalkan realisasi pendapatan cukai di tahun ini. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), target pendapatan cukai tahun 2015 sekitar Rp 146 triliun.
Angka ini lebih tinggi Rp 4 triliun sampai Rp 5 triliun dibandingkan proposal yang diajukan sebelumnya. Pendapatan cukai tersebut juga meningkat 15% dibandingkan realisasi tahun 2014 sebesar Rp 126,7 triliun.
Meski begitu, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai. Target pendapatan cukai di 2015 ini berasal dari ekstensifikasi pajak, seperti pemberantasan aktivitas ilegal, optimalisasi pembayaran kredit terkait pengakuan pendapatan berbasis akrual, dari sebelumnya kas basis, dan potensi kenaikan lanjutan dari sistem tier based yang menutup seluruh lubang (loop hole). Di satu sisi, ekstensifikasi pajak ini bisa meningkatkan penjualan emiten rokok kelas besar.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo mengungkapkan, pemerintah yang ingin memberantas cukai ilegal akan menekan perusahaan rokok kelas kecil yang memalsukan cukai. Sehingga, penjualan emiten rokok skala besar bisa terkerek.
Namun di sisi lain, perhitungan cukai baru ini akan meningkatkan modal kerja emiten rokok. Kepala Riset Woori Korindo Securities Reza Priyambada menyebut, beban cukai emiten rokok berporsi sekitar 30% sampai 40% dari total biaya. Setelah itu pun akan diikuti dengan kenaikan biaya operasional, upah administrasi, dan lain-lain. "Kalau cukai naik, semakin besar beban yang ditanggung," ujar Reza.
Analis Mandiri Sekuritas Herman Koeswanto dalam riset Jumat (20/2) menuliskan, dampak material perubahan akuntansi pada penghitungan kredit pita cukai akan terasa oleh produsen rokok di kuartal keempat.
Pasalnya, lini kredit dua-tiga bulan yang disediakan pemerintah harus dibayar di Desember 2015. Sehingga, ini akan memicu keperluan modal kerja yang lebih tinggi untuk membeli cukai rokok.
Herman memperhitungkan, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) akan memiliki potensi tambahan modal kerja Rp 5 triliun sampai sekitar Rp 6 triliun. Begitu juga emiten lain seperti, PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) yang akan memiliki tambahan modal kerja Rp 130 miliar sampai Rp 150 miliar.
Penambahan modal kerja akan berlangsung di kuartal IV tahun ini. Ada beberapa risiko, seperti tarif cukai tahun depan yang bisa saja naik melebihi prediksi. Herman memproyeksikan, emiten rokok juga akan kena efek risiko kompetisi yang memicu volume penjualan yang lebih baik atau lebih buruk. "Volatilitas beban bahan mentah dan kenaikan suku bunga lebih tinggi daripada ekspektasi, juga menjadi risiko bagi emiten rokok," ujar Herman.
Ia merekomendasikan beli GGRM dengan target harga Rp 68.500 dan WIIM dengan target Rp 840 per saham. Ini karena valuasi atraktif dan masih terdiskon 40% dibandingkan para pesaing di sektor konsumer lain.
Kemudian, pertumbuhan laba per saham atau earning per share (EPS) GGRM dan WIIM tahun 2014-2016 masing-masing 18,6% CAGR dan 42,1%. Pekan lalu, saham GGRM tutup di harga Rp 55.000. Lalu WIIM di Rp 550. Kemudian, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) tutup di Rp 65.500 dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk (RMBA) pada Rp 500 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News