Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sedang dikelilingi oleh sentimen eksternal dan domestik. Sentimen tersebut berpotensi memengaruhi prospek kinerja dan pergerakan saham emiten dengan bisnis EBT.
Sentimen eksternal cenderung menekan, sejalan dengan sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang lebih condong pada energi berbasis fosil. Trump pun mengambil langkah untuk menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris alias Paris Agreement.
Di sisi lain, prospek emiten EBT berpotensi terdongkrak oleh sentimen domestik dengan adanya dukungan pemerintah, melalui Peraturaan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5 Tahun 2025.
Baca Juga: Baruan Energi Fosil masih Tinggi, Pensiun Dini PLTU Tak Masuk dalam RUPTL 2025-2034
Beleid ini mengatur skema penjaminan pemerintah serta penanggungan risiko dalam percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan memperkirakan keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris berpotensi membawa tekanan bagi industri EBT global.
Hanya saja, dampaknya lebih bersifat jangka pendek mengingat tren transisi energi masih menjadi agenda utama di banyak negara, termasuk Indonesia.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer sepakat, kebijakan Donald Trump yang cenderung mendorong energi fosil akan memberikan tekanan terhadap industri EBT global atau perusahaan yang punya eksposur internasional. Tapi, dampaknya akan lebih terbatas bagi emiten dengan fokus pengembangan EBT di dalam negeri.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Tak Masuk dalam RUPTL 2025-2034, Bauran Fosil Masih Tinggi
Miftahul pun memprediksi PMK Nomor 5 Tahun 2025 akan lebih berpengaruh terhadap emiten EBT. "Sentimen domestik lebih berdampak signifikan dibandingkan eksternal, terutama dengan dukungan kebijakan yang mempercepat transisi energi," kata Miftahul kepada Kontan.co.id, Jumat (31/1).
Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Muhammad Thoriq Fadilla mengamini, prospek industri EBT akan lebih dipengaruhi oleh komitmen pemerintah Indonesia dalam menekan emisi karbon dan merealisasikan transisi energi. Kebijakan yang memberikan kepastian dan insentif lebih signifikan sebagai katalis bagi emiten EBT.
Dus, Thoriq pun menilai penerbitan PMK Nomor 5 Tahun 2025 akan membawa sentimen positif. "Dukungan regulasi dan komitmen pemerintah dalam pengembangan EBT memberikan prospek positif bagi emiten dan meningkatkan kepercayaan investor," terang Thoriq.
Research Analyst Phintraco Sekuritas Muhamad Heru Mustofa menambahkan, PMK Nomor 5 Tahun 2025 berpotensi mempercepat realisasi proyek EBT dalam negeri dengan mengurangi risiko proyek.
Baca Juga: Indeks Kompas100 Dikocok Ulang, Simak Prospek Kinerja Konstituen Barunya
Catatan Heru, respons pasar masih cenderung wait and see, terutama untuk mencermati kebijakan Donald Trump di bidang energi dan efek pasca keluarnya AS dari Paris Agreement.
Tapi, Heru menilai kondisi ini hanya akan terjadi dalam jangka pendek. Sektor EBT masih cukup menarik untuk jangka panjang, apalagi dengan adanya dukungan dari pemerintah untuk pengembangan energi bersih di dalam negeri.
"Akan tetapi, proses transisi ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sehingga sektor EBT cukup menarik secara jangka panjang. Meskipun ke depan terdapat beberapa risiko yang perlu dicermati seperti ketergantungan terhadap batubara, kesiapan infrastruktur, hingga teknologi," terang Heru.
Baca Juga: Prabowo Bentuk Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi, Bahlil Jadi Ketua
Investment Analyst Edvisor Profina Visindo Ahmad Iqbal Suyudi menyoroti, terbitnya PMK Nomor 5 Tahun 2025 bisa membuka jalan untuk mempercepat peningkatan kapasitas listrik berbasis EBT. Sejalan dengan target bauran EBT dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025 - 2034 yang diprediksi meningkat menjadi sekitar 60%.