Reporter: Nur Qolbi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi aturan yang memungkinkan perusahaan unicorn maupun perusahaan berbasis teknologi bisa tercatat di Papan Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) hampir rampung. Saat ini, revisi Peraturan Pencatatan I-A tersebut tengah menunggu persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Penilaian BEI I Gede Nyoman Yetna meyakini, proses revisi aturan ini akan selesai dalam waktu dekat. Pasalnya, pada pertemuan terakhir dengan OJK, kedua belah pihak telah membahas hal-hal yang bersifat signifikan.
"Diskusi dengan otoritas dan pemangku kepentingan lainnya sudah berlangsung cukup lama. Kini prosesnya menuju tahapan finalisasi. Kami berharap OJK bisa memberikan persetujuan," kata Nyoman dalam acara virtual Edukasi Wartawan terkait IPO Unicorn, Rabu (28/7).
Asal tahu saja, BEI telah menyampaikan permohonan persetujuan konsep perubahan Peraturan Bursa Nomor I-A kepada OJK pada tanggal 22 Maret 2021. Sementara OJK telah memberikan tanggapan pada 22 April 2021.
Baca Juga: Mulai dari IPO hingga rights issue, ramai pencarian dana dengan emisi jumbo
Revisi aturan ini memang belum mendapat persetujuan OJK sehingga belum bersifat tetap. Namun, Kepala Unit Pengembangan Start-up dan SME BEI Aditya Nugraha memberikan gambaran perubahan ketentuannya.
Menurut Aditya, pada peraturan yang berlaku saat ini, calon emiten yang ingin tercatat di Papan Utama diharuskan sudah membukukan laba satu tahun buku terakhir dan memiliki net tangible asset (NTA) minimal Rp 100 miliar. Padahal, persyaratan ini tidak sesuai dengan karakteristik unicorn dan perusahaan rintisan berbasis teknologi yang belum fokus mengejar laba.
Nah, pada aturan revisinya, BEI membuka lima kanal alternatif syarat pencatatan yang bersifat substitusi, yaitu sebagai berikut:
1. Calon perusahaan tercatat memiliki laba sebelum pajak 1 tahun buku terakhir dan NTA Rp 250 miliar; atau
2. Calon perusahaan tercatat memiliki agregat laba sebelum pajak 2 tahun buku terakhir Rp 100 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 1 triliun; atau
3. Calon perusahaan tercatat memiliki pendapatan Rp 600 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 3 triliun; atau
4. Calon perusahaan tercatat memiliki total aset Rp 1 triliun dan kapitalisasi pasar Rp 2 triliun; atau
5. Calon perusahaan tercatat memiliki operating cashflow kumulatif 2 tahun Rp 200 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 4 triliun.
Aditya menyampaikan, kelima kanal alternatif syarat pencatatan bersifat substitusi sehingga bisa menggantikan satu dengan yang lain tergantung dengan karakteristik perusahaan. "Kelima kanal juga bersifat setara karena BEI juga ingin memastikan bahwa perusahaan tercatat yang masuk ke Papan Utama terjaga kualitasnya," kata Aditya.
Baca Juga: Bukalapak tetapkan harga IPO Rp 850 per saham, bakal raup dana Rp 21,9 triliun
Selain Papan Utama, BEI juga memberikan kanal alternatif syarat pencatatan bagi perusahaan teknologi untuk ingin tercatat di Papan Pengembangan. Pada aturan saat ini, calon emiten diharuskan memiliki NTA Rp 5 miliar; atau laba usaha Rp 1 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 100 miliar; atau pendapatan Rp 40 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 200 miliar.
Akan tetapi, pada revisi Peraturan Pencatatan I-A, lima kanal alternatif syarat pencatatan di Papan Pengembangan adalah sebeagai berikut
1. Calon perusahaan tercatat memiliki NTA Rp 50 miliar; atau
2. Calon perusahaan tercatat memiliki agregat laba sebelum pajak 2 tahun buku terakhir Rp 10 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 100 miliar; atau
3. Calon perusahaan tercatat memiliki pendapatan Rp 40 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 200 miliar; atau
4. Calon perusahaan tercatat memiliki total aset Rp 250 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 500 miliar; atau
5. Calon perusahaan tercatat memiliki operating cashflow kumulatif 2 tahun Rp 20 miliar dan kapitalisasi pasar Rp 400 mliar.
Selanjutnya: Jadi konstituen LQ45, simak prospek dan rekomendasi saham TINS dan BRPT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News