Sumber: KONTAN | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kendati bom mengguncang JW Marriot dan Ritz Carlton, Jumat lalu, selera investor asing rupanya tak terganggu. Mereka tetap memborong saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Saat tragedi itu terjadi (17/7), lebih banyak investor asing yang membeli saham ketimbang yang menjual saham. Jumat lalu, investor asing masih membukukan pembelian bersih (nett buy) US$ 12,79 juta atau Rp 129,97 miliar.
Memang, nett buy asing pada Jumat itu lebih sedikit ketimbang beli bersih pada hari sebelumnya (16/7), yang tercatat US$ 53,52 juta. Tapi, masih betahnya asing di BEI paling tidak ikut mengerem kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Menurut Analis PT Panin Sekuritas Purwoko Sartono, sepekan ini indeks akan bergerak fluktuatif dalam rentang 2.051- 2.170 per saham. "Investor sebaiknya tetap mencermati perkembangan pasca teror bom," katanya, kemarin.
Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, meyakini IHSG akan kembali pulih tiga hari ke depan. Dia melihat, pasar sudah makin dewasa dan kebal dengan teror bom. "Fundamental ekonomi Indonesia masih menjadi perhatian pasar," kata Purbaya.
Sekadar catatan, akhir pekan lalu (17/7), IHSG terkoreksi 0,55% menjadi 2.106,9. Nilai transaksi saham turun menjadi Rp 4,54 triliun. Sehari sebelumnya nilai transaksi tercatat Rp 5,73 triliun.
Ini berbeda dengan efek ledakan bom sebelumnya. Saat bom meledak di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada 13 September 2000, indeks terjun bebas sebesar 7,03% menjadi 411,03. Perlu waktu lima bulan untuk mengembalikan kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia. Baru pada 5 Februari 2001, IHSG bisa kembali merekah ke posisi 451,98 per saham.
Saat teror bom mengguncang Bali pada 12 Oktober 2002, indeks melorot hingga 10,36% menjadi 337,48 pada 14 Oktober 2002. Dua bulan kemudian atau tepatnya 22 November 2002, indeks baru bisa beranjak pulih ke level 381,45.
Tapi, semenjak teror bom di JW Marriot pada 5 Agustus 2003, pasar semakin dewasa. Waktu itu, hanya butuh waktu dua hari untuk memulihkan indeks. Saat itu, indeks hanya terkoreksi 1,8% menjadi 494,44. Pada 7 Agustus 2003, IHSG kembali bercokol di level 508 per saham.
Saat peristiwa bom Bali kedua pada 2005, indeks justru menguat tipis. Yakni 0,38% dari 1.079,28 ke level 1.083,41 pada 3 Oktober 2005.
Menurut Kepala Riset Financorpindo Nusa Edwin Sebayang, salah satu sentimen positif yang bisa mendongkrak bursa adalah pengumuman kabinet baru dan arah ekonomi pemerintah terpilih. Jika susunan kabinet pro pasar, langkah itu bisa langsung menaikkan IHSG. Pekan ini, Edwin meramalkan, indeks akan berada 2.068-2.150.
Tapi Kepala Riset Valbury Asia Securities Krishna Dwi Setiawan berpendapat, efek bom masih akan menghantui IHSG pekan ini. "Kalau polisi cepat mengungkap pelakunya, IHSG bisa naik," katanya. Sepekan ini, Krishna meramalkan indeks berada di kisaran 2.080-2.125.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News