Reporter: Kenia Intan | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga saham emiten poultry cenderung menguat sepekan terakhir. Hal ini tercermin dari pergerakan harga tiga saham emiten poultry yang paling likuid di bursa, yakni PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), dan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN).
Mengutip RTI Business pada penutupan perdagangan Selasa (15/12), JPFA mencatatkan kenaikan harga paling tinggi 8,71% seminggu terakhir menjadi 1.560. Setelahnya, disusul CPIN yang menguat 6,75% menjadi 6.725. Adapun MAIN juga menguat 4,67% menjadi 785.
Head of Investment Information Team Mirae Asset Sekuritas, Roger MM, mengungkapkan, pergerakan harga ini terdongkrak sentimen positif dari global dan domestik. Dari global, sentimen yang mempengaruhi masih seputar vaksin Covid-19. Kehadiran vaksin Covid-19 memunculkan harapan adanya pemulihan demand atau permintaan pasar.
Sementara dari domestik, harga ayam broiler maupun day old chicks (DOC) cenderung mengalami peningkatan. Sepengamatannya sejauh ini, harga ayam broiler sudah menyentuh Rp 20.000 per ekor dan harga DOC Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per ekor.
Baca Juga: Pemilik Japfa Handojo Santosa masuk daftar 50 orang terkaya Indonesia versi Forbes
Harga tersebut membaik dibanding rata-rata harga di bulan Oktober, untuk broiler Rp 15.600 dan DOC di harga Rp 5.000.
Dilihat dari kinerja keuangannya, hingga kuartal III 2020 kinerja ketiganya memang melorot jika dibanding pada periode yang sama tahun 2019. Akan tetapi secara kuartalan atau quartal on quartal (QoQ) kinerjanya cenderung membaik khususnya untuk JPFA dan MAIN.
Ke depan, kinerja emiten poultry diprediksi akan lebih baik dibandingkan tahun tahun 2020. Hal ini dipicu sentimen positif dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cenderung menguat.
Asal tahu saja, sebagian besar bahan baku untuk pakan ternak adalah kedelai yang lebih banyak diimpor. Komposisinya mencapai 25% dari total kandungan dalam pakan ternak.
Dengan kata lain, penguatan rupiah terhadap dolar AS akan meringankan beban perusahaan. Di sisi lain, penguatan rupiah terhadap dolar dapat memberi angin segar bagi emiten-emiten yang memiliki utang dalam bentuk dolar, salah satunya JPFA.
Baca Juga: Peluang IHSG menuju ke 6.000 terbuka, saham-saham ini menjadi rekomendasi analis
Adapun tahun 2020 ini dianggap sebagai low base atau titik terendah bagi emiten-emiten poultry. Oleh karena itu, tahun depan kinerja emiten poultry dapat dipastikan akan lebih baik.
"Tahun 2021 emiten poultry akan mengalami lonjakan pendapatan dengan harapan demand kembali pulih," jelas Roger dalam acara Stock On Fire yang digelar secara virtual Selasa (15/12). Lebih lanjut dijelaskan, permintaan akan pulih seiring dengan aktivitas hotel dan restoran yang mulai berjalan.
Kendati cenderung diwarnai sentimen positif, Roger mengingatkan ada sentimen-sentimen negatif yang masih membayangi emiten-emiten ini, salah satunya intervensi dari pemerintah. Asal tahu saja, kinerja emiten poultry dipengaruhi oleh kondisi harga ayam broiler maupun DOC, Sementara, harga ini dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan ayam di pasar.
Oleh karenanya, emiten poultry sangat tergantung pada intervensi pemerintah untuk pengendalian pasokan di pasar agar harga tetap terjaga.
Ada juga faktor cuaca La Nina sejak September 2020 yang akan mempengaruhi pasokan kedelai. Padahal produk ini merupakan bahan utama pakan ternak yang menjadi salah satu segmen emiten poultry. Sentimen negatif lainnya, mengenai kabar impor daging broiler dari Brasil. Jika ini terjadi, maka akan terjadi kelebihan pasokan. Padahal permintaan pasar cenderung lesu.
Ke depan, Roger mengamati bahwa emiten poultry akan cenderung memaksimalkan segmen makanan olahan. Menurutnya, segmen ini bisa menjadi potensi diverifikasi karena marginnya yang cukup besar.
Baca Juga: Indeks saham syariah masih turun paling dalam
"Kalau harga broiler itu turun, ini bisa menutup penurunan margin di segmen broiler," imbuhnya. Di sisi lain, permintaan makanan olahan masih memungkinkan berkembang karena sejauh ini kontribusi dari makanan olah bari sekitar 10% hingga 15% terhadap pendapatan CPIN maupun JPFA.
Di antara ketiga saham itu, Roger melihat JPFA memiliki potensi kenaikan harga yang paling tinggi, apalagi setelah mengakuisisi merek PT So Good Food (SGF). Target harganya berada di kisaran 2.200. Sementara untuk dua saham lainnya, target harganya bisa naik antara 10% hingga 20%. CPIN ditetapkan pada level 7.300, dan MAIN ditargetkan pada level 930.
Sementara secara teknikal, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana mengamati pergerakan harga saham masih berpotensi menguat dalam jangka pendek dan dimungkinkan berlanjut hingga akhir tahun. Adapun JPFA punya potensi menguat ke level 1.700 hingga 1.750. CPIN berpotensi menguat ke level 7.400 hingga 7.700, dan MAIN bisa menguat ke level 830 hingga 850.
" Untuk investor silakan buy on weakness terlebih dahulu," jelasnya ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (15/12).
Tidak jauh berbeda, Analis Sucor Sekuritas Indonesia Hendriko Gani mengungkapkan, secara teknikal ketiga saham itu masih punya potensi menguat. MAIN bisa menguat hingga 855, JPFA punya potensi menguat 1.600 hingga 1.655, dan CPIN berpeluang meningkat hingga 7.300. Akan tetapi untuk saat ini Hendriko cenderung menyarankan investor untuk hold terlebih dahulu.
Selanjutnya: Harga ayam tertekan, peternak dorong transparansi data integrator
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News