Sumber: KONTAN | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. British American Tobacco Limited (BAT) berencana menggabungkan kedua anak usahanya yang melantai di bursa Indonesia, yakni PT Bentoel International Investama Tbk (RMBA) dan PT BAT Indonesia Tbk (BATI).
Nama Bentoel International Investama akan menjadi nama baru perusahaan hasil gabungan. "Target penyelesaian merger ini awal Januari 2010," kata Presiden Direktur Bentoel Nicolaas B. Tirtadinata kepada KONTAN, kemarin.
BAT memberi dua pilihan kepada pemegang saham pada anak perusahaannya itu. Pertama, para investor saham BATI dan RMBA bisa ikut menjadi pemegang saham perusahaan gabungan. Dasar konversi yang akan dipakai, setiap satu saham BATI akan ditukar dengan 7,68 saham RMBA.
Pilihan kedua, investor dapat menjual saham BATI dan RMBA kepada BAT. Dalam siaran persnya kemarin (20/10), BAT bersedia membeli saham BATI seharga Rp 5.600 per saham. BAT juga menawarkan harga pembelian saham RMBA senilai Rp 729 per saham.
Presiden Direktur BATI Rehan Baig menyatakan, penggabungan ini bertujuan untuk menciptakan suatu usaha rokok gabungan dengan skala yang lebih besar. "Harapannya penggabungan ini dapat memberi nilai lebih bagi para pemegang saham," ujar Rahan dalam siaran persnya, kemarin.
Nantinya, Djoko Moeljono akan menjadi komisaris utama perusahaan hasil merger. Sementara Jeremy Pike akan bertindak sebagai Direktur Utama. Djoko Moeljono saat ini menduduki jabatan sebagai Komisaris Utama BATI.
Hingga saat ini, BAT menjadi pengendali utama di BATI dan RMBA. Mereka memegang 99,74% saham RMBA dan 78,74% saham BATI. Dengan asumsi semua pemegang saham publik mengkonversi sahamnya menjadi saham perusahaan gabungan, BAT akan memiliki 98,26% saham perusahaan gabungan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah BAT akan menarik RMBA dari lantai bursa (go private) setelah merger tersebut? Soal yang satu ini masih gelap. "Saya tidak tahu kebijakan di level pemegang saham," ujar Nicolaas.
Analis Danareksa Sekuritas Naya Terambintang berpendapat, harga saham RMBA saat ini terbilang cukup mahal. "Price earning ratio RMBA saat ini mencapai 38 kali, sementara rata-rata PER industri rokok adalah hanya dua belas kali," tutur Naya.
Naya juga melihat, kinerja BATI akan semakin memburuk. Pasalnya, dalam laporan keuangan semester pertama 2009, BATI mencatatkan kerugian bersih Rp 49,88 miliar. Kerugian perusahaan ini naik 261,97% dari posisi yang sama tahun 2008. Hingga akhir tahun 2008, BATI juga masih merugi bersih sekitar Rp 86,62 miliar.
Kinerja RMBA jauh lebih lumayan ketimbang BATI. Pada semester pertama 2009, RMBA mampu membukukan laba bersih Rp 23,15 miliar. Namun, jika membandingkan dengan kinerja semester pertama 2008, perolehan tadi menurun 73,20%. Maklum, enam bulan pertama 2008, RMBA meraih laba bersih Rp 86,37 miliar.
Dengan pertimbangan ini, Naya mengkhawatirkan, merger BATI dan RMBA akan memperburuk kinerja RMBA. Karena itulah Naya merekomendasikan jual kedua saham tersebut. Dalam hitungannya, harga wajar RMBA adalah Rp 520 per saham. Dengan penawaran BAT sebesar Rp 729 per saham, ini sudah cukup memberikan keuntungan bagi investor. Sementara untuk saham BATI, Naya tidak memasang target harga wajar karena saham BATI tidak likuid.
Pada penutupan pasar kemarin, harga saham RMBA berakhir di level Rp 700 per saham, naik 7,69% dari posisi sehari sebelumnya. Sementara saham BATI berada di posisi Rp 5.200 per saham, sama dengan posisi sehari sebelumnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News