Reporter: Yuliani Maimuntarsih, Noor Muhammad Falih | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral mentah sudah berlaku sebulan terakhir. Sebelumnya, beleid ini diduga bisa mengerek harga komoditas mineral, seperti timah, aluminium, nikel dan tembaga. Maklum, larangan ekspor dapat mengurangi suplai global, sehingga harga naik.
Lantas, bagaimana pengaruh beleid tersebut terhadap pergerakan harga mineral? Data Bloomberg, menunjukkan, hingga Kamis (13/2), harga timah untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) naik 1,5% dibanding periode sama pada bulan lalu menjadi US$ 22.475 per metrik ton (MT). Harga nikel juga sudah reli 1,3% menjadi US$ 14.395 per MT.
Namun, harga tembaga di LME pada periode yang sama justru tergerus 2,4% menjadi US$ 7.155 per MT. Senada, harga aluminium juga turun 2,5% ke US$ 1.735 per MT.
Analis komoditas, Ibrahim menyebut, reli harga sejumlah mineral tersokong laju harga minyak mentah. Selain itu, harga komoditas sangat bergantung pada kondisi ekonomi China dan AS. China merupakan eksportir manufaktur terbesar dunia, sehingga permintaan komoditas mineral dipengaruhi kondisi industri di sana. Adapun, pergerakan mata uang negeri Paman Sam selalu bertolak belakang dengan harga komoditas.
Timah
Analis Megagrowth Futures, Wahyu Tribowo Laksono menyebut, timah sedang di atas angin. Dibanding akhir tahun lalu, harganya telah naik 0,60%. Menurutnya, harga timah tahun ini berpotensi lebih baik dibanding tahun lalu. Kebijakan pelarangan ekspor di Indonesia mendukung reli harga timah. "Kebijakan itu mengurangi suplai global, sehingga harga naik,” ujarnya.
Selain itu, timah juga tersokong pelemahan dollar AS, pasca rilis data penambahan tenaga kerja di negara tersebut yang melambat.
Dari sisi teknikal, timah juga terlihat rebound pasca menyentuh level support di US$ 21.300 per MT pada awal tahun ini. Saat ini, moving average convergence divergence (MACD) masih di level 9,8, dan stochastic di level 90, yang artinya masih positif.
Wahyu memprediksi, hingga akhir kuartal I, harga timah bergulir di kisaran US$21.000-US$24.000 per MT.
Nikel
Tak hanya naik dalam sebulan terakhir, harga nikel juga sudah menanjak 3,6% dibanding akhir tahun lalu. Wahyu bilang, pelarangan ekspor mineral mentah hanya berpengaruh tipis pada pergerakan harga nikel. Adapun, harga saat ini lebih dipengaruhi pelemahan dollar AS.
Meskipun ada penurunan suplai dari Indonesia, tapi permintaan pada awal tahun ini juga terlihat melandai, sehingga harganya relatif stabil.
Ia bilang, reli harga nikel sudah berlangsung selama dua pekan terakhir.
Meski kenaikan nikel yang terkuat dibanding komoditas mineral lain, tapi saat ini, nikel masuk dalam masa konsolidasi. "Ke depan, potensinya cenderung menguat," ujarnya.
Sampai pengujung kuartal I, Wahyu menduga, harga nikel bakal bergulir di kisaran US$13.300-US$15.000 per MT.
Aluminium
Pergerakan harga aluminium masih tertahan lantaran persediaan di pasar masih banyak. Menurut Ibrahim, stok aluminium sangat bergantung pada permintaan China. Namun, saat ini, perekonomian China masih belum bisa menuju produk domestik bruto (PDB) dua digit. Alasannya, investor asing menarik dananya di China dan mengalihkannya ke instrumen investasi di AS, karena ekonomi negeri Paman Sam mulai pulih.
Ibrahim memprediksi, ke depan, harga aluminium masih akan terkoreksi. Namun, bisa terjadi penguatan secara teknikal. Prediksi dia, sepekan ke depan, harga aluminium bisa bergerak antara US$ 1.705-US$ 1.749 per MT.
Tembaga
Kata Wahyu, tembaga saat ini cenderung tertekan, setelah akhir tahun lalu menguat. Adapun, pelarangan ekspor tidak serta merta berimbas positif pada pergerakan harga tembaga. Pasalnya, harga juga dipengaruhi faktor ekonomi dunia, suplai dan permintaan secara global.
Wahyu bilang, meskipun suplai tembaga di pasar global masih rendah, namun permintaan juga melemah. Ini terutama, karena manufaktur China cenderung melambat.
Ia menebak, harga tembaga masih cenderung lemah, dan bermain di kisaran US$ 6.900- US$7.460 selama kuartal I.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News