kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.487.000   72.000   2,98%
  • USD/IDR 16.610   15,00   0,09%
  • IDX 8.238   149,11   1,84%
  • KOMPAS100 1.145   25,73   2,30%
  • LQ45 820   23,58   2,96%
  • ISSI 290   4,46   1,56%
  • IDX30 429   13,21   3,18%
  • IDXHIDIV20 487   16,89   3,59%
  • IDX80 127   2,85   2,30%
  • IDXV30 135   1,26   0,95%
  • IDXQ30 136   4,84   3,69%

Begini Prospek Obligasi Korporasi di Tengah Tren Penurunan Suku Bunga BI


Selasa, 21 Oktober 2025 / 19:24 WIB
Begini Prospek Obligasi Korporasi di Tengah Tren Penurunan Suku Bunga BI
ILUSTRASI. Pasar obligasi korporasi diproyeksikan masih akan prospektif hingga akhir 2025, seiring ekspektasi ?penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia.


Reporter: Wafidashfa Cessarry | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi korporasi diproyeksikan masih akan prospektif hingga akhir 2025, seiring ekspektasi Bank Indonesia (BI) yang berpotensi memangkas suku bunga acuan dalam beberapa waktu ke depan.

Analis Fixed Income Pefindo Ahmad Nasrudin menilai, ekspektasi pemangkasan suku bunga tersebut akan menciptakan angin segar bagi pasar surat utang korporasi. “Dalam lingkungan suku bunga yang menurun, harga obligasi yang beredar cenderung naik, sehingga investor berpotensi memperoleh capital gain,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (21/10/2025).

Selain itu, turunnya yield pada surat utang pemerintah yang dianggap sebagai aset paling aman akan membuat obligasi korporasi semakin menarik. Sebab, instrumen ini masih menawarkan spread atau selisih imbal hasil yang lebih lebar dan total return yang lebih kompetitif.

Baca Juga: Menimbang Tenor Obligasi Korporasi di Tengah Prospek Pemangkasan Suku Bunga

Berdasarkan data IBPA, yield obligasi pemerintah tenor 5 tahun saat ini berada di kisaran 5,41%, sedangkan yield obligasi korporasi dengan peringkat AAA mencapai 6,06%, dan yang berperingkat BBB bahkan menembus 9,79%. “Semakin rendah peringkat, semakin tinggi yield-nya, tetapi tentu dengan risiko yang lebih besar,” jelas Ahmad.

Ia menambahkan, investor institusi seperti asuransi dan dana pensiun umumnya tetap fokus pada obligasi berperingkat investment grade, khususnya yang diterbitkan oleh emiten sektor infrastruktur, properti, dan industri yang tengah diuntungkan oleh tren pemulihan ekonomi serta penurunan biaya pendanaan.

Tren suku bunga rendah juga dinilai akan mendorong lebih banyak perusahaan menerbitkan obligasi baru. Data Pefindo menunjukkan, hingga September 2025 total penerbitan obligasi korporasi telah mencapai Rp160 triliun, melampaui realisasi sepanjang 2024 sebesar Rp149,76 triliun — tertinggi sejak 2017.

Menurut Ahmad, suku bunga yang lebih rendah secara langsung mengurangi biaya pendanaan atau kupon yang harus ditanggung emiten. “Kondisi ini menjadikan obligasi sebagai opsi pembiayaan yang lebih efisien dibandingkan pinjaman bank,” terangnya.

Selain itu, kebutuhan refinancing juga masih tinggi. Total surat utang korporasi yang jatuh tempo pada kuartal IV-2025 mencapai Rp44,56 triliun, lebih besar dibandingkan kuartal I-2025 sebesar Rp37,08 triliun.

Di sisi lain, tren penurunan yield justru dinilai menjadi momen yang tepat bagi investor untuk mulai masuk ke pasar obligasi korporasi. Ahmad menjelaskan, dalam fase penurunan suku bunga, harga obligasi akan naik, memberikan potensi capital gain bagi investor yang masuk lebih awal.

“Biasanya investor memanfaatkan window of opportunity sebelum BI benar-benar menurunkan suku bunga lebih lanjut. Saat itu, mereka bisa mengunci kupon yang masih menarik sebelum yield turun lebih dalam,” katanya.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa selektivitas tetap menjadi kunci, terutama terkait risiko gagal bayar (default risk) dari emiten berperingkat rendah.

Baca Juga: Pasar Obligasi Korporasi Masih Dibayangi Sejumlah Tantangan, Apa Saja?

Ahmad menilai, kondisi suku bunga menurun juga membuka peluang bagi investor untuk melirik obligasi berjangka panjang. Pasalnya, obligasi tenor panjang memiliki sensitivitas harga yang lebih tinggi terhadap perubahan suku bunga, atau disebut durasi.

“Ketika suku bunga turun, harga obligasi jangka panjang naik lebih signifikan, memberi potensi capital gain yang lebih besar,” jelasnya. Namun, ia mengingatkan risiko volatilitas dan likuiditas pada tenor panjang tetap harus diantisipasi dengan diversifikasi portofolio.

Meski prospeknya cerah, investor tetap perlu mencermati sejumlah risiko. Risiko utama, kata Ahmad, tetap pada kualitas kredit emiten. “Tidak semua perusahaan pulih dengan kecepatan yang sama, jadi fokuslah pada emiten dengan fundamental kuat dan arus kas stabil,” ujarnya.

Selain itu, faktor eksternal seperti arah kebijakan suku bunga The Fed dan fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS juga dapat memengaruhi arus modal dan volatilitas pasar obligasi domestik.

“Jika The Fed menunda pemangkasan, potensi outflow bisa menahan penurunan yield obligasi korporasi,” tambahnya.

Secara keseluruhan, Ahmad menilai momentum positif pasar obligasi korporasi masih akan berlanjut hingga tahun depan. Dukungan datang dari prospek pelonggaran moneter lanjutan, inflasi yang terkendali, serta pertumbuhan ekonomi domestik yang solid.

“Selain didorong oleh potensi penurunan suku bunga lanjutan dari BI dan The Fed, kebutuhan refinancing korporasi yang tinggi pada 2026 akan membuat penerbitan tetap ramai. Sementara di sisi permintaan, investor terus mengejar return lebih tinggi di pasar surat utang korporasi dibandingkan obligasi pemerintah,” pungkasnya.

Selanjutnya: Kinerja Mitra Adiperkasa (MAPI) Bakal Ditopang Merek Mewah, Cermati Rekomendasinya

Menarik Dibaca: Khawatir Terhadap Penampilan Fisik? Duh, Jangan Sampai Berlebihan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×