Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) kemungkinan tak terdampak parah dari rencana penerapan kebijakan tarif resiprokal pemerintah Amerika Serikat (AS) ke sejumlah negara.
Dalam kebijakan tarif resiprokal pemerintah AS, Indonesia terkena tarif 32%. Namun, saat ini penerapannya ditunda sampai 90 hari ke depan.
Di masa penundaan, pemerintah AS akan menerapkan tarif impor minimal 10% kepada 75 negara, termasuk Indonesia.
Sayangnya, Tarif Trump itu telah menyebabkan keributan dan volatilitas pasar global lantaran terjadi perang tarif. Apalagi, Washington telah menaikkan tarif atas produk China hingga 145%, sementara Beijing membalas dengan tarif balasan sebesar 125% terhadap produk AS.
Baca Juga: Tarif Impor AS Mencekik, Emiten CPO Bidik Pasar Domestik
Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila mengatakan, Tarif Trump bisa menurunkan permintaan pasar AS, karena harga CPO yang lebih mahal.
“Harga jual rata-rata (average selling price/ASP) CPO bisa terkoreksi, sehingga bisa menekan margin emiten CPO,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (13/4).
Menurut Indy, kinerja emiten CPO di tahun ini masih bisa kuat jika pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang menjaga volume produksi dan harga komoditas.
“PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) sepertinya masih cukup defensif di tahun ini, terutama karena porsi ekspor ke AS yang sedikit,” katanya.
Indy menyarankan investor untuk memperhatikan kinerja LSIP dan TAPG dengan target harga masing-masing Rp 1.120 per saham dan Rp 945 per saham.
Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk Reza Priyambada mengatakan, penerapan ekspor CPO Indonesia lebih banyak dikirim ke India, China, Pakistan, dan Bangladesh. Untuk wilayah ASEAN, Indonesia mengekspor CPO ke Myanmar dan Vietnam.
Artinya, ekspor CPO Indonesia ke AS tidak terlalu tinggi, sehingga Tarif Trump tidak akan berdampak signifikan ke kinerja emiten sawit. “Namun, perlu dicek juga apakah ada emiten yang punya eksposur ke ekspor ke AS,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (13/4).
Baca Juga: Soal Rencana Pemangkasan Bea Keluar Ekspor CPO ke AS, Kemendag: Masih Pembahasan
Menurut Reza, industri CPO kerap mengalami fluktuasi harga seiring dinamika permintaan dan penawaran. Di sisi lain, emiten CPO juga menghadapi adanya sentimen penolakan untuk produk CPO dan turunannya, seperti yang terjadi di Eropa.
Hal itu pun menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia untuk dapat melakukan negosiasi maupun mencari pangsa pasar baru negara-negara lain yang membutuhkan CPO sebagai bahan baku produk olahan.
Lalu, sentimen lain penggerak kinerja juga terkait persaingan, terutama dengan Malaysia yang juga melakukan ekspor CPO, serta produk substitusi dari minyak cawit. Ini jika ada negara yang secara masif mengganti CPO ke minyak biji bunga matahari sebagai bahan baku utama.
“Untuk sentimen positif, bisa saja datang dari percepatan kebijakan pemerintah terkait penggunaan biodiesel B40,” katanya.
Reza pun menyarankan investor untuk memperhatikan saham LSIP, TAPG, dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Selanjutnya: Promo KFC Kombo Spesial Roda Duo, Double Ayam + Nasi + Soft Drink Hanya Rp 50.000
Menarik Dibaca: Promo KFC Kombo Spesial Roda Duo, Double Ayam + Nasi + Soft Drink Hanya Rp 50.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News