Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Iklim investasi di Indonesia pada tahun depan bisa lebih baik meski bakal dibayangi kemungkinan naiknya suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed). Ini karena adanya harapan pasar cukup besar dari kebijakan pemerintah baru yang berjanji menjaga indikator makro seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan rupiah.
Harapan ini muncul dari kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu bisa berimbas positif ke iklim ekonomi tahun depan. Asociate Director, Head of Research and Institutional Business Trimegah Securities, Sebastian Tobing memperkirakan, kenaikan suku bunga The Fed akan menjadi fokus utama investor. Dia meramalkan, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dari 0,25% menjadi 1,125% hingga akhir 2015.
Kalau menurut Hans Kwee, Vice President Investment Quant Kapital Investama, The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan ke level 1,38%. Namun, baru terjadi di semester II. Inflasi AS akan berada di level 2%.
Kenaikan suku bunga The Fed bakal mengerek suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Sebastian bilang, asumsi BI rate akan naik 25 basis poin, dari saat ini 7,75% menjadi 8% di akhir 2015.
Namun, banyak risiko yang membuat Trimegah menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2014 dari 5,3% menjadi 5,1%. Sementara untuk 2015, pertumbuhan ekonomi di 5%-5,1%. Sebastian memproyeksikan, inflasi di akhir tahun ini 7,7% dan turun 5% di 2015.
Hal itu juga akan membuat rata-rata rupiah di Rp 11.800 per dollar AS di akhir tahun menjadi Rp 12.150 per dollar AS di 2015. "Namun, dalam jangka pendek ini, bisa menuju Rp 13.000 per dollar AS karena adanya penguatan dollar terhadap semua mata uang," ujar Sebastian, Senin (15/12). Dia bilang, tahun depan, masih akan ada capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed meski hanya sementara. Dana asing akan kembali ke pasar saham jika pemerintah mampu menjaga current account defisit. Namun, jika The Fed menaikkan suku bunga di atas asumsi awal 1,125%, dana asing di saham bakal keluar US$ 300 juta hingga US$ 500 juta.
IHSG tetap melaju
Kalau hitungan Hans, inflasi tahun depan lebih terkendali. Bahkan menurut dia, BI akan menurunkan BI rate menjadi 7,25% dengan asumsi inflasi di 5,5%. Hans memperkirakan IHSG tahun depan bisa naik 20% menjadi 6.125 dari perkiraan tahun ini di 5.100. "Current account defisit nampaknya bisa terjaga di 2,2% karena ada pengurangan subsidi BBM," kata dia.
Dan menurut Sebastian efek kenaikan suku bunga The Fed akan membuat koreksi sementara. "IHSG akan tetap lebih naik," kata dia. Dia memperkirakan, IHSG tahun depan akan naik 10% dari target tahun ini 5.488 menjadi 5.634 pada tahun depan.
Dengan asumsi makro lebih baik, Hans menyarankan fokus di sektoral saham infrastruktur, konstruksi, dan semen. Hans bilang, saham pilihan tahun depan adalah JSMR, PGAS, INTP, WIKA, PTPP, LPCK, dan LPKR.
Saham-saham infrastruktur akan berkibar seiring rencana pemerintah mengalihkan subsidi BBM ke sektor yang lebih produktif seperti infrastruktur.
Sementara Sebastian memiliki sembilan pilihan saham yang direkomendasikan buy yakni, BBNI, BJTM, TBIG, INTP, MAPI, ADHI, WSKT, SMRA, dan SOCI.
Sebastian bilang, dalam pemilihan saham, tak hanya melihat faktor sektoral melainkan juga valuasi dan prospek pertumbuhan laba bersih. Selain itu, Sebastian juga memilih saham-saham yang memberi dividen yield tinggi. "Tak harus mencari price earning ratio (PER) yang murah, namun juga cari yang EPS growth-nya tinggi," saran dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News