kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bahana TCW sebut burden sharing bakal bangkitkan daya tarik SBN


Selasa, 21 Juli 2020 / 12:11 WIB
Bahana TCW sebut burden sharing bakal bangkitkan daya tarik SBN
ILUSTRASI. Petugas memperhatikan pergerakan harga surat berharga pada layar digital di Jakarta. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Skema berbagi beban (burden sharing) antara Kementerian Keuangan dan Bank Idndonesia (BI) dinilai mampu memperkuat pasar obligasi Tanah Air. Sebagai informasi, skema burden sharing dilakukan untuk pembiayaan dana penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

PT Bahana TCW Investment Management (anak perusahaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) - Holding perasuransian dan penjaminan) menilai skema burden sharing antara pemerintah dan BI memiliki pro dan kontra dari market.

Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan saat ini negara tengah dihadapkan pada situasi darurat dan pelik.

Baca Juga: Duh, Burden Sharing Bank Indonesia BI) Bisa Ungkit Inflasi hingga 8,15%

Kondisi saat ini tercermin dari posisi neraca berjalan yang defisit dan terbatasnya dana dalam perbankan Indonesia. Alhasil, itu memunculkan tantangan berat untuk pembiayaan defisit ABPN 6,3% terhadap PDB di kala harus bertahan menghadapi Pandemi.

Budi mengungkapkan, itu tidak hanya terkait pada keterbatasan kapasitas investor domestik menyerap emisi SBN, tetapi juga daya tahan fiskal yang penting untuk memacu pertumbuhan di kemudian hari.

"Sebelum wabah COVID-19, sekitar 12% belanja negara dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok. Kini angka itu berisiko melonjak menjadi 17% belanja negara,” kata Budi dalam keterangan resminya, Selasa (21/7).

Untuk itu, Budi menilai burden sharing mengurangi supply risk Surat Berharga Negara (SBN) khususnya di pasar obligasi domestik. Sementara itu, investor asing kini tengah menyikapi dampak pembelian SBN oleh BI terhadap rupiah, terutama setelah BI kembali memangkas bunga.

Dijelaskan oleh Budi bahwa bank sentral akan sepenuhnya menyerap SBN yang dikeluarkan Pemerintah yang ditujukan untuk belanja publik. Belanja untuk manfaat publik tersebut sebesar Rp 397,56 triliun, meliputi belanja kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan sektoral kementerian, lembaga dan pemda Rp 106,11 triliun.

Sementara untuk belanja barang non publik, BI akan bertindak sebagai stand by buyer melalui penerbitan SBN dengan mekanisme pasar sesuai kesepakatan pada UU nomor 2/2020.

Baca Juga: Burden sharing bisa ungkit inflasi hingga 8,15%

BI akan memperoleh bunga sebesar reverse repo rate dikurangi 1%. Belanja non publik ini meliputi bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun.

Budi menilai, tekanan terhadap rupiah sebulan terakhir bersifat temporer bila mencermati lonjakan harga emas yang berlawanan dengan pelemahan indeks dollar global (DXY). Sementara, penurunan suku bunga global LIBOR pada batas terendah dalam sejarah jelas menunjukkan terjadi kelebihan likuiditas.

Selain faktor eksternal pelemahan dollar, potensi penguatan rupiah hingga ke level Rp 3.930 per dollar AS akhir tahun dimungkinkan oleh faktor internal penurunan defisit neraca berjalan yang selaras dengan perlambatan ekonomi.

Isyarat perlambatan ekonomi Indonesia diperlihatkan oleh surplus neraca dagang Indonesia dua bulan berturut-turut, yakni US$ 2,1 miliar (Mei 2020) dan US$ 1,27 miliar (Juni 2020). BI dilansir memproyeksikan defisit neraca berjalan (CAD) pada kisaran 1,5% GDP pada akhir tahun 2020.

Ke depan, Budi menyakini pada akhirnya investor asing akan kembali melirik SBN mengingat imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi dibanding negara lain.

Terkait keputusan BI untuk kembali memangkas bunga kebijakan, Budi menilai cukup beralasan mengingat laju penyaluran kredit terbukti sangat lemah sementara suku bunga saat ini masih melebihi proyeksi inflasi yang ditaksir sekitar 3,35% pada 2020. 

“Menyikapi dampak ekspansi moneter sejak krisis keuangan global 2008 yang tidak memacu inflasi, saya tidak terlalu khawatir terhadap dampak inflasi akibat penciptaan uang oleh BI. Semakin nyata bahwa inflasi lebih terkait realitas globalisasi seperti akibat kelebihan kapasitas produksi negara lain yang kita impor, termasuk penurunan harga energi,” ungkap Budi.

Sementara itu, kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tegas sejatinya mencerminkan determinasi pemerintah untuk melakukan reformasi struktural. Setelah pemerintah dan BI menuntaskan tantangan langsung untuk bertahan, investor selanjutnya mengharapkan keberanian menempuh terobosan untuk membangkitkan kembali ekonomi negara.

Baca Juga: Ekonom: Burden sharing mampu jaga level layak investasi surat utang pemerintah

Ke depan, Budi berharap pemerintah dapat mempercepat realisasi penyerapan stimulus di semester II-2020, baik itu untuk sektor kesehatan, bantuan sosial, penguatan UMKM dan korporasi agar roda perekonomian mulai bergerak.

Percepatan stimulus ini sangat penting bagi keberlangsungan perusahaan dan kemauan perbankan untuk kembali menyalurkan kredit.

“Kami memantau laju pertumbuhan M1 (uang kartal dan uang kiral) berbagai negara. Secara historis, pertumbuhan M1 pada Mei 2020 yang sebesar 9,65% memang terbilang tinggi. Namun, bila dibandingkan negara berkembang lainnya terbilang kurang impresif. Percepatan stimulus yang memperkuat daya beli dan penurunan yield SBN meningkatkan valuasi dan, dengan demikian, peluang kenaikan harga saham,” simpulnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×