Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Layaknya peraturan baru, perlu transisi dalam pelaksanaannya. Begitu pula dengan Perubahan Peraturan Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Besifat Ekuitas Selain Saham yang diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat.
Salah satu ketentuan baru yang diatur adalah mengenai jumlah saham di publik atau free float. Bursa Efek Indonesia (BEI) mewajibkan emiten memiliki 50 juta saham dan minimal 7,5% dari jumlah saham dalam modal disetor untuk free float.
Namun, aturan ini memberikan cerita sendiri bagi emiten, terutama emiten yang berniat keluar dari papan pencatatan BEI atau go private.
Sumber KONTAN yang enggan disebut identitasnya mengatakan, ketentuan ini bisa mendorong beberapa emiten untuk melakukan delisting sukarela (voluntary delisting).
Ia mencontohkan, PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP). "Tahun 2005, HMSP berniat go private, tetapi BEI tidak mengizinkan," ujarnya yang mengetahui kejadian tersebut.
Itu sebabnya, HMSP hingga kini tidak juga menambah kepemilikan publiknya. Mengutip keterangan biro administrasi efek (BAE) PT Sirca Datapro Perdana, per 31 Desember 2013, PT Philip Morris Indonesia menguasai 98,18% saham HMSP.
Sehingga, saham di publik dengan kepemilikan di bawah 5% hanya 1,82%. Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, jika emiten lebih memilih voluntary delisting itu adalah pilihan.
"Kami hanya ingin menciptakan pasar modal dengan likuiditas yang lebih baik," kata dia. Tidak ada aturan ini pun,lanjut dia, sebenarnya voluntary delisting tetap bisa terjadi. Pasalnya, hal ini memang dilegalkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News