Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aset kripto masih jadi kelas aset yang paling dominan sepanjang tahun ini. Kendati begitu, instrumen investasi konvensional juga mencatatkan kinerja yang solid.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menerangkan, kenaikan inflasi pada kuartal ketiga dan keempat telah mendorong risk-off pada pasar mata uang, sehingga likuiditas kebanyakan mengalir ke aset saham dan aset kripto. Selain itu, perkembangan teknologi masing-masing aset kripto sepanjang tahun ini juga menjadi pendorong penguatan harganya.
“Kinerja aset kripto ke depan masih akan terus membaik seiring dengan outlook ekonomi global yang juga semakin membaik. Persaingan aset kripto semakin kompetitif dan perkembangan teknologi dan nilai use and case akan membuat industri ini semakin berkembang,” ujar Sutopo.
Baca Juga: Simak Prospek Pergerakan Harga Logam Mulia pada Tahun Depan
Dia meyakini, ketiga aset kripto dengan kapitalisasi pasar atau market cap terbesar, yakni Bitcoin, Ethereum, dan Binance Coin masih akan menjadi yang teratas untuk tahun depan. Bitcoin sebagai induk aset kripto masih akan menjadi incaran karena punya fundamental yang lebih solid.
Namun, tidak menutup kemungkinan, ketika nilai sudah terlalu mahal akan menjadikan aset berkurang daya tariknya, sehingga spekulan lebih cenderung mencari harga aset yang lebih murah dalam tujuan investasi jangka pendek. Tapi untuk jangka panjang, Bitcoin masih jadi aset terbaik
Sementara Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi menyebut bahwa berbagai kinerja instrumen investasi konvensional tersebut sudah cukup ideal karena setidaknya mendekat dengan target awal tahun. Ia mencontohkan kinerja IHSG yang bisa mencapai level dua digit padahal sempat anjlok akibat ledakan kasus Covid-19.
“Pada pertengahan tahun, IHSG sempat drop akibat Covid-19, tapi untungnya kinerjanya bisa membaik dan ditutup mencapai 10% pada akhir tahun ini, inline dengan target di awak tahun,” kata Reza kepada Kontan.co.id, Kamis (30/12).
Baca Juga: Tahun 2021 Paling Liar Bagi Cryptocurrency, Rekor Bitcoin Hingga Tindakan Keras China
Senada, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga meyakini hal yang serupa. Dia menambahkan, tahun ini juga menjadi fenomena baru karena kinerja IHSG justru didorong oleh saham-saham yang dari kapitalisasi sebenarnya kecil, tapi karena pertumbuhan kinerjanya sangat tinggi, pada akhirnya bisa menopang IHSG.
Fenomena lainnnya adalah tahun ini juga masih jadi periode yang sulit bagi beberapa sektor karena kinerjanya yang masih tertekan oleh pandemi Covid-19. Sementara untuk pasar obligasi, solidnya kinerja obligasi korporasi tidak terlepas dari minimnya volatilitas yang menimpa instrumen ini.
Hal yang berbeda justru terjadi pada obligasi negara yang relatif lebih volatile sehingga kinerjanya hanya berada di kisaran 5%. Namun, Wawan menyebut kinerja tersebut juga sudah cukup ideal mengingat pasar SBN diterpa sentimen tapering dan wacana kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun ini.
Baca Juga: Dekati Ujung Tahun, Harga Bitcoin, Dogecoin, Shiba Inu Terus Melorot
Menyambut tahun depan, Wawan optimistis saham akan jadi instrumen investasi yang paling moncer dari sisi kinerja. Beberapa saham yang masih tertinggal di tahun ini, diekspektasikan akan mencatatkan perbaikan kinerja pada tahun 2022.
“Memasuki pemulihan ekonomi, Indonesia punya banyak modal. Dari sektor kesehatan, penanganan pandemi Covid-19 kita sudah sangat baik. Lalu, harga komoditas yang tinggi juga dorong penerimaan pajak sehingga buat pemerintah punya banyak dana untuk tahun depan,” kata Wawan.
Selain itu, Wawan menambahkan, sentimen seperti tax amnesty dan implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) juga akan jadi sentimen positif. Hanya saja, kenaikan suku bunga AS pada tahun depan akan jadi tantangan karena akan ikut membuat Bank Indonesia turut naikkan suku bunga acuan.
Namun, proyeksi Wawan, BI hanya akan menaikkan sebanyak 50 basis poin dan itu pun dilakukan di akhir tahun. Sehingga dinilai tidak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi tahun depan.
Baca Juga: 11 Platform Aset Kripto yang Terdaftar di Bappebti, Waspada Investasi Bodong
Sementara Reza menambahkan, prospek pemulihan ekonomi masih akan mendorong tren positif kinerja IHSG, obligasi korporasi & obligasi negara. Menurutnya, tahun 2020 merupakan fase pandemi, kemudian 2021 fase pemulihan dan dilanjutkan fase normalisasi pada pasar global dan akselerasi di tahun 2022.
Proses akselerasi ini pada akhirnya akan menjadi katalis positif untuk instrumen saham dan pada akhirnya akan membuat saham jadi kelas aset yang unggul dibanding obligasi. Walaupun para pelaku ekonomi diharapkan akan lebih agresif untuk melakukan ekspansi dan mencari pembiayaan dengan menerbitkan obligasi korporasi, keputusan The Fed menaikkan suku bunga acuan bisa menjadi katalis negatif untuk pasar obligasi.
“Obligasi korporasi secara imbal hasil masih akan tetap tinggi di tahun depan, namun risikonya juga lebih tinggi dibanding obligasi negara. Pasar keuangan masih berpotensi mengalami volatilitas yang tinggi seiring dengan kebijakan tapering dan perubahan suku bunga dari the Fed maupun US Treasury,” imbuhnya.
Reza dan Wawan masing-masing memproyeksikan IHSG pada tahun depan bisa mencapai level 7.300 dan 7.500.
Baca Juga: Turun Pada Perdagangan Terakhir, IHSG Menguat 10,08% ke 6.581 di Tahun 2021
Mempertimbangkan hal tersebut, Reza menyarankan investor untuk memanfaatkan momentum diversifikasi guna memaksimalkan investasi pada tahun mendatang. Dengan laju pertumbuhan kredit yang masih relatif rendah dan imbal hasil obligasi yg menarik, momentum ini bisa dimanfaatkan para investor untuk masuk pada reksadana yang memiliki unsur obligasi.
Lalu, ketika momentum kenaikan suku bunga dan tapering dari The Fed, investor bisa memanfaatkannya untuk masuk pada produk reksadana pasar uang. Namun setelah ekonomi berangsur pulih, investor bisa langsung memanfaatkan momentum untuk masuk pada reksadana saham.
Secara persentase, Reza menyarankan investor mengatur portofolionya di saham 50%, lalu 20% di obligasi dan 30% di pasar uang. Sedangkan Wawan, menyarankan untuk menggunakan format 40-30-30 dengan porsi terbesar sesuai profil risiko ataupun momentum yang ada di pasar.
Baca Juga: Berikut Jawara Indeks Sektoral BEI Sepanjang 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News