Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah mampu bertahan di atas level US$ 100 per barel dalam dua bulan terakhir, akhirnya harga minyak dunia terkoreksi ke bawah level US$ 100 per barel.
Pada penutupan perdagangan Selasa (5/7), minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak Agustus melemah 9% ke level US 99,5 per barel. Namun, hari ini, Rabu (6/7) minyak WTI kembali rebound dan berada di level US$ 101,43 per barel.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf meyakini koreksi yang terjadi di minyak dunia saat ini sifatnya hanya sementara. Menurutnya, harga minyak juga sudah terlalu tinggi seiring sempat menyentuh level US$ 120 per barel.
Baca Juga: Harga Minyak Melonjak, Industri Energi Global Siap Nikmati Cuan
Di satu sisi, kekhawatiran para pelaku pasar terkait ancaman resesi ekonomi global menjadi katalis yang menyebabkan terkoreksinya harga minyak dunia. Alwi menyebut, kekhawatiran tersebut membuat pelaku pasar khawatir akan ada penurunan permintaan minyak dunia.
Walau begitu, dia meyakini kondisi ini hanya berlangsung sesaat saja. Pasalnya, secara fundamental, minyak dunia masih berpotensi untuk bertahan di atas level US$ 100 per barel. Permasalahan utama soal ketatnya pasokan akan menjadi faktor yang menjaga harga minyak di atas level tersebut.
“Sayangnya, langkah OPEC+ yang menambah produksi sebesar 648.000 barel per hari, tidak bisa menutup kekurangan pasokan yang ditinggalkan Rusia akibat larangan impor dari Uni Eropa,” kata Alwi ketika dihubungi Kontan.co.id, Rabu (6/7).
Baca Juga: Peluncuran Minyak Goreng Curah Kemasan Demi Penuhi Kebutuhan Masyarakat
Selain itu, Alwi meyakini ketatnya pasokan juga masih akan berlanjut karena belum hadirnya pasokan Iran ke pasar seiring masih alotnya perundingan nuklir dengan Amerika Serikat. Selain itu, permasalahan di ladang minyak Norwegia dan Libya turut memperdalam masalah ketatnya pasokan tersebut.
Oleh karena itu, dengan kondisi tersebut, dia memperkirakan harga minyak masih akan bertahan di atas US$ 100 per barel pada kuartal III-2022 ini.
Menurutnya, faktor yang bisa meredam harga minyak ke depan adalah ketika ekspektasi akan kenaikan inflasi bisa berkurang di pasar. Jika ekspektasi inflasi masih tetap tinggi, maka akan memicu para pelaku pasar untuk melakukan hedging ke minyak. Hal tersebut pada akhirnya akan membuat harga minyak tetap tinggi.
Baca Juga: Dirut Pertamina Tegaskan Belum Ada Niatan Naikkan Harga Pertamax
Selain itu, jika dolar AS bisa kembali menguat di tengah tren kenaikan suku bunga, harga minyak juga mengalami koreksi. Ditambah lagi, jika pasokan tidak lagi ketat semisal dengan rampungnya pembicaraan nuklir AS - Iran, maupun AS yang membuka lagi embargo minyak Venezuala.
“Ini bisa membawa harga minyak turun ke level US$ 90 per barel, bahkan jika bisa sampai ke US$ 80 per barel akan terjadi pembalikan arah,” imbuhnya.
Namun, Alwi masih menyangsikan hal tersebut bisa terjadi dalam waktu dekat. Bahkan, hingga akhir tahun nanti, dia memperkirakan harga minyak dunia masih akan di kisaran US$ 105 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News