Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
Hari ini atau kemarin Umay Muslim baru saja menapaki Bulan Puasa. Sementara tak sampai dua minggu lagi masyarakat Indonesia menggelar pemilihan presiden (pilpres). David Cornelis, Head of Research KSK Financial Group berpendapat siapapun yang menang dalam pilpres nanti, tidak akan membuat arus modal keluar dalam jangka menengah-panjang. Investor asing tidak memiliki pilihan banyak saat ini karena Indonesia masih menjadi kekasih investasi para investor global.
Di sisi lain, pelaku pasar sejauh ini tidak melihat adanya kebijakan yang sinergis dan komprehensif antara kebijakan fiskal dan moneter. Sejauh ini kebijakan fiskal masih mendominasi. Sementara arus modal masuk dan keluar memiliki faktor besar pada sentimen fluktuasi rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG). “Arus modal cenderung disruptif, kendati tidak destruktif, dan efeknya masih lebih rendah daripada arus ekspor-impor barang dan jasa serta investasi langsung,” ujar David dalam uraian tertulisnya, (29/6).
Data seperempat abad terakhir, dalam periode satu bulan puasa di bulan apapun, rata-rata IHSG bergerak positif, bahkan cenderung naik sekitar 3%. Adapun kondisi ekstrem IHSG mengalami kenaikan bombastis sebesar 21% pernah terjadi di tahun pemulihan 1998. Lantas satu dekade kemudian IHSG mengalami penurunan drastis hingga 15%.
Di bulan puasa, meski volume IHSG akan lebih tipis tapi IHSG memiliki kecenderungan naik sebesar 64%. Secara historis statistik, terjadi kenaikan 16 kali selama 25 tahun terakhir di periode puasa. Berdasarkan penutupan IHSG Jumat sore pekan lalu (27/6), jika diproyeksikan secara sederhana faktor tunggal puasa terhadap IHSG, maka didapat ekspektasi kenaikan IHSG hingga satu bulan ke depan ke level 4.986.
Bila dikombinasikan dengan ajang Piala Dunia sejak 1990, yang sudah digelar selama enam kali, pergerakan rata-rata IHSG positif sebesar 4,2% selama periode selama satu bulan penuh Piala Dunia berlangsung. Disamping itu juga, sejak 1,5 dekade lalu, ajang pemilihan umum (pemilu) selalu memiliki faktor yang positif terhadap pergerakan IHSG, siapapun yang menang. “Jadi tiga ajang tersebut yakni Piala Dunia, puasa dan secara tidak langsung dan independen memengaruhi pergerakan pasar finansial secara positif,” beber David.
Perlu Anda ketahui, di pasar modal terdapat tipe investor “trypophobia” yang was-was jika melihat lubang di pergerakan pasar. Adapun risiko lubang terdekat bagi IHSG adalah di level dukungan kuat sekitar 4.824 dan jangka menengah di 4.602. Investor perlu mewaspadai kecenderungan ke arah level ini, ketika saat ini tren IHSG masih di posisi turun dalam jangka pendek.
Angsa putih dan raja naga
Secara tradisional,Piala Dunia, pilpres dan puasa menambah keringnya likuiditas di pasar finansial. Pada kenyataanya, ketiga momen ini tidak pernah terjadi bersamaan seperti yang saat ini terjadi. Kejadian pilpres dan puasa nanti akan bertemu kembali di periode yang sama di tahun 2050. Jadi ketika ketiga peristiwa ekstrem yang besar terjadi bersamaan maka berpotensi memunculkan risiko besar tak terduga yang dikenal sebagai 'angsa hitam dan raja naga' di dunia finansial.
Selain IHSG, pelaku pasar juga perlu mencermati rupiah. Dalam periode 67 bulan setelah krisis global yang mendorong pelemahan rupiah terdalam ke level Rp 13.000 di November 2008, rupiah kembali berada dalam tren pelemahan selama enam pekan terakhir. Rupiah sudah terkoreksi 4,4% dari target APBN-P 2014, menuju target pelemahan terdekatnya di sekitar level Rp 12.281. Rata-rata depresiasi rupiah dalam lima tahun terakhir sebesar 2,6% dan volatilitas yang tinggi di atas 9% berdampak pada tingginya ekspektasi inflasi ke depan.
Faktor fundamental adalah musabab mata uang Garuda melemah. Plus, faktor psikologis sentimen yang membuat rupiah melemah berlebihan. Seperti kisruh geopolitik Irak yang mendorong melambungnya harga minyak dunia. Hal ini mempengaruhi impor minyak dan pos defisit ganda Indonesia, yakni transaksi berjalan dan perdagangan.
Lalu, ada permintaan valas semesteran yang tinggi di akhir bulan dalam repatriasi dana bayar dividen dan utang swasta yang jatuh tempo. Di sisi lain suplai dollar Amerika Serikat (AS) terbatas karena ekspor yang belum optimal. “Ditambah lagi situasi politik nasional dengan selisih suara masing-masing kubu capres semakin menipis yang menaikkan risiko politik ke pasar finansial dan menyebabkan rupiah lunglai,” ujar David.
Oleh karena itu perlu adanya mitigasi risiko kenaikan ekspektasi inflasi karena faktor puasa dan libur Lebaran yang lebih lama dari tahun lalu yaitu enam hari dengan kebutuhan uang sekitar Rp 118 triliun di pasar. Beberapa pemicu kenaikan inflasi seperti liburan sekolah, pembayaran tunjangan hari raya (THR), kenaikan tarif listrik (yang menambah 0,5% inflasi), adanya El Nino, kenaikan harga LPG, tarif pesawat dan kereta api. David memproyeksikan inflasi Juni masih di bawah rerata inflasi Juni lima tahun terakhir yang sebesar 0,56%.
Faktor risiko inflasi pun hadir dari depresiasi rupiah yang sudah menembus batas psikologis Rp 12.000. Kondisi ini sangat rentan bergantung pada investasi asing untuk mendanai defisit tersebut. Proyeksi suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate berisiko naik ke 7,75% di kuartal III nanti. Sementara defisit transaksi berjalan cenderung di atas 3% PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News