Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Sore tadi, (29/8), Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin (bps) ke 7%. Artinya, BI sudah menaikkan BI rate sebanyak tiga kali dari awal tahun ini.
Keputusan BI tersebut disambut positif oleh Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka. Ia menilai, di tengah kondisi rupiah yang sangat tak stabil belakangan ini, kenaikan BI rate tersebut bagai segelas air di tengah gurun pasir.
"Walau dibaratkan hanya segelas air di gurun pasir, namun ini dapat mencegah keterpurukan rupiah atau minimal bisa menjaga kestabilan mata uang dan sentimen di pasar," terang Lukman di Jakarta, Kamis (29/8).
Sebenarnya, lanjut Lukman, jika di awal tahun BI tak lengah, maka kondisi yang terjadi sekarang ini bisa diantisipasi dengan beberapa kebijakan pengetatan sisi moneter yang bersifat preventif. Jika tindakan preventif dilakukan dari awal, BI tak perlu menaikkan BI rate berulang kali.
Namun, keadaan saat ini sudah condong ke arah sentimen. Maksudnya, keterpurukan rupiah dipicu kekhawatiran pada fundamentalnya. Jika sudah begini, terpaksa ekonomi dikorbankan demi menjaga mata uang dengan menaikkan suku bunga.
"Seperti pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati, maka BI kini membayar lebih mahal untuk memulihkan keadaan ekonomi," ujar Lukman.
Walaupun kin BI rate ada di posisi 7%, Lukman menilai BI berpeluang menaikkannya lagi. Sebab, kata dia, tekanan terhadap rupiah masih akan terjadi seperti sentimen dari The Fed.
Selain itu, ada juga sentimen negatif yang datang dari harga minyak dunia yang terus naik karena krisis Suriah. Apalagi, Amerika Serikat (AS) kini berencana menyerang Suriah yang bisa berdampak bagi harga minyak.
Apabila harga minyak terus naik, maka current account di kuartal berikutnya bisa kembali terancam defisit oleh impor minyak.
Namun, kata Lukman, kunci utama dan faktor yang paling penting dari rupiah tetap ada pada inflasi. Jika inflasi lebih rendah, tekanan terhadap rupiah bisa berkurang. "Ffaktor internal yaitu mengontrol inflasi jauh lebih penting daripada khawatir pada defisit current account dan BI rate," tambah Lukman.
Sementara itu, Nugroho SBM, Dosen Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro memiliki pandangan senada. Dia menyambut positif kenaikan BI rate ke level 7%. Namun, menurutnya, penguatan rupiah atas efek kenaikan BI rate belum bisa dirasakan dalam waktu dekat.
"Saya rasa baru bisa dirasakan jangka panjang. Sampai ke level realistis, sesuai asumsi RAPBN yang baru, yaitu Rp10.200 -an. Tapi, ini ada yang mengkhawatirkan, konflik Mesir dan Suriah yang akan menaikan harga minyak dunia," jelas Nugroho.
Harga minyak memang mempengaruhi penerimaan ekspor Indonesia dalam dolar, tapi juga sekaligus beban bagi impor minyak. Sementara itu, Indonesia sudah menjadi net importir minyak.
Akibatnya, kebutuhan dolar AS untuk mengimpor minyak naik dan pada akhirnya kembali menekan rupiah. "Jadi, BI masih punya ruang untuk menaikkan BI rate lagi," terang Nugroho.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News