Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah saham bergerak di zona merah pada awal tahun ini. Kapitalisasi pasar atau market cap beberapa emiten di lintas sektor pun merosot cukup dalam.
Indeks SMC Composite pada periode 30 Desember 2021 hingga 19 Januari 2022 mencatat sejumlah saham yang mengalami penurunan tajam. Emiten yang sahamnya masuk dalam Top Losers tersebut meliputi IPTV yang amblas 55,95%, POLL turun 53,44%.
Selanjutnya ada MPPA dengan penurunan 41,47%, MLPL turun 39,46%, TECH turun 32,79%, APEX turun 28,82%, BOLA turun 27,54%, MTLA turun 26,96%, BEBS turun 25,62%, dan SAMF turun 24,20%.
Saham emiten e-commerce BUKA juga menjadi sorotan lantaran sempat ambles dan menyentuh level terendah (all time low). Setelah berkutat di zona merah dalam tujuh hari perdagangan secara beruntun, saham BUKA kembali menghijau pada perdagangan Rabu (19/1) kemarin.
Seiring dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis (20/1) yang kembali menguat, sejumlah saham top Losers yang disebutkan di atas juga ada yang bergerak ke zona hijau.
Misalnya saja MPPA yang mencatatkan kenaikan harian hingga 10,24% dan menutup perdagangan di level 280. Meski begitu, secara year to date (ytd) saham MPPA masih minus 35,48%.
Baca Juga: Harga Saham Lapis Dua dan Tiga Semakin Murah, Cek Rekomendasi yang Patut Dibeli
Selanjutnya ada MLPL yang menguat 2,68% ke level Rp 230, meski secara ytd masih memerah 37,84%. Lalu, SAMF yang pada perdagangan hari ini menguat 7,83% ke Rp 895, dengan pergerakkan ytd minus 18,26%.
Technical Analyst Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova melihat ada faktor yang beragam dari pergerakan pasar tersebut. Pertama, merosotnya saham dan market cap ini tak lepas dari faktor sejumlah emiten yang masih mencatatkan rugi bersih pada 2021.
Di sisi lain, pada tahun lalu sejumlah emiten memang mampu memperbaiki neraca keuangannya dibandingkan 2020. Namun, secara valuasi sudah terlalu mahal. Hal ini memperlihatkan kondisi yang masih kurang solid.
"Maka sangat wajar jika terjadinya aksi profit taking dan rotasi sektoral sangat rentan menyeret harga saham secara agresif yang berpengaruh terhadap melorotnya market cap," kata Ivan saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (20/1).
Kedua, dari sisi teknikal, rata-rata saham tersebut sudah berada pada fase distribusi dengan indikator yang menunjukkan sinyal negatif. Namun Ivan melihat sebagian saham itu mungkin berada di akhir downtrend dan berpotensi mengalami technical rebound.
"Untuk saham-saham yang mengalami penurunan market cap perlu dicermati dengan menyesuaikan pada tujuannya. Secara teknikal memang ada peluang untuk melakukan trading dengan tujuan mencari keuntungan jangka pendek," sambung Ivan.
Namun untuk tujuan investasi, selain karena harga yang sudah mengalami fase distribusi, Ivan mengingatkan pelaku pasar perlu selektif mencari saham yang berfundamental baik dengan sektor yang masih prospektif.
Sementara itu, Analis Panin Sekuritas William Hartanto juga menilai aksi profit taking dan perpindahan sektor menjadi faktor penentu. Saham-saham di sektor teknologi atau yang berkaitan dengan itu memang menjadi juara pada tahun lalu.
Namun, penguatan tersebut sudah terbatas. Sebagian pelaku pasar sudah melakukan profit taking sehingga mengalami penurunan harga. William pun masih merekomendasikan untuk wait and see.
"Kondisi jenuh jual mesti terjadi dulu, seperti pelemahan yang terbatas dan membentuk tren sideways setelah pelemahan tersebut," sebut William.
Sedangkan Head of Investment Research Infovesta Wawan Hendrayana lebih menyoroti ekspektasi para pelaku pasar. Wawan mengatakan, ekspektasi terhadap pendapatan atau pertumbuhan aset menjadi faktor utama pergerakan saham. Umumnya, saham yang naik tinggi bisa turun tajam dengan cepat ketika ekspektasi dinilai meleset.
Dalam kondisi ini, Wawan juga masih merekomendaskan untuk wait and see. Yang perlu dicatat, meski saham bergerak naik-turun, tapi dalam jangka panjang tetap akan mencerminkan kondisi fundamentalnya.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Analis untuk Saham Lapis Dua dan Tiga
Selain itu, perlu dicermati pula sektor-sektor lain yang memiliki ruang lebih besar untuk bertumbuh. Baik yang didukung oleh prospek bisnis maupun faktor kenaikan profitabilitas.
"Tentu saja untuk investor yang yakin dengan prospek bisnis perusahaan tersebut, bisa melakukan akumulasi beli untuk long term. Tetapi tidak berarti saham valuasi murah akan segera naik, butuh katalis pendorong," terang Wawan.
Pada tahun 2022, terutama di masa awal tahun, Wawan memandang ada tiga faktor pendorong utama. Meliputi ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi, naiknya harga komoditas, serta faktor kesehatan yang menyangkut gelombang varian Omicron.
Mempertimbangkan hal tersebut, Wawan lebih menyarankan para pelaku pasar untuk fokus pada saham-saham di sektor keuangan, telekomunikasi, consumer goods, dan komoditas. Sedangkan saham di luar sektor tersebut bisa dikoleksi sebagai diversifikasi.
Sedangkan, dari sisi teknikal Ivan menilai bahwa sektor basic materials masih berpotensi menguat kembali. Saham di sektor ini diperkirakan hampir menyelesaikan fase koreksi sehingga memiliki harapan untuk berbalik pada tren positif, seperti pada SAMF.
Selanjutnya, sektor industrial secara teknikal juga berpotensi membentuk pembalikan tren. Saham yang bisa dilirik antara lain MLPL. "Namun tetap perlu diperhitungan level pembatasan risiko sesuai dengan profil investor sekalipun tujuannya untuk trading saja," pesan Ivan.
Di sisi lain, Ivan berpandangan bahwa saat ini sentimen negatif memang masih membayangi. Sebab, masih ada risiko ketidakpastian dari seberapa besar dampak penyebaran omicron dan langkah pemerintah terkait pembatasan mobilitas masyarakat (PPKM).
Jika kebijakan PPKM tidak seketat saat meledaknya varian delta, maka ada kemungkinan saham-saham di sektor ritel seperti MPPA, RALS, dan MAPI bakal terpapar sentimen positif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News