kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.506   31,00   0,20%
  • IDX 7.736   0,77   0,01%
  • KOMPAS100 1.201   -0,83   -0,07%
  • LQ45 959   -0,02   0,00%
  • ISSI 232   -0,49   -0,21%
  • IDX30 493   0,72   0,15%
  • IDXHIDIV20 592   1,38   0,23%
  • IDX80 137   0,09   0,07%
  • IDXV30 143   0,13   0,09%
  • IDXQ30 164   0,10   0,06%

Akibat Perang Israel-Hamas, Mata Uang Safe Haven Diburu Investor


Rabu, 11 Oktober 2023 / 08:00 WIB
Akibat Perang Israel-Hamas, Mata Uang Safe Haven Diburu Investor


Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meletusnya perang antara Israel dan Hamas (Palestina) meningkatkan permintaan terhadap mata uang safe haven. Investor umumnya mencari perlindungan di saat terjadi kekalutan global.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengamati, konflik politik yang terjadi di Timur Tengah sejak dimulai Sabtu (7/10) pekan lalu telah berdampak pada sentimen keuangan global. Dolar Amerika Serikat (USD), Yen Jepang (JPY), Swiss Franc (CHF), Emas (XAU) dan minyak menjadi pilihan aset investasi di tengah kondisi yang tidak pasti tersebut.

“Aksi safe haven terjadi terhadap perburuan aset yang dinilai aman,” kata Nanang kepada Kontan.co.id, Selasa (10/10).

Dolar AS pun tampak perkasa di hadapan Rupiah belakangan ini. Pada penutupan hari ini, Selasa (10/10), nilai tukar rupiah di pasar spot sudah menembus level Rp 15.739 per dolar AS. Rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) pun bernasib sama yang ditutup pada level terburuknya sejak akhir tahun lalu di posisi Rp 15.708 per dolar AS.

Baca Juga: USD dan JPY Dilirik saat Konflik Israel – Palestina Makin Membara

Nanang melihat, USD memiliki potensi paling besar untuk menguat signifikan dalam kondisi ketidakpastian global akibat perang. Namun, isu soal suku bunga yang mulai meredup dari potensi kenaikan menjadi hambatan bagi dolar Amerika Serikat (AS).

“Dolar belakangan ini memang cenderung bertahan di tengah gempuran faktor teknikal yang terus menguat sejak akhir bulan lalu dengan mencapai level puncaknya dalam 11 bulan,” ujar Nanang.

Nanang menjelaskan, Dolar tengah dihadapkan kabar tidak sedap bahwa banyak kalangan menilai pertemuan Fed pada November mendatang tidak akan mengubah suku bunga. Ekspektasi itu muncul karena mempertimbangkan laju inflasi yang kemungkinan akan melandai dan adanya situasi perang di Timur Tengah.

Jika melihat potensi yang ada dengan beragamnya sentimen. Dolar saat ini mengalami aksi profit taking alias aksi ambil untung. Faktor teknikal dan sisi fundamental yang menekan dolar.

Walaupun demikian, Nanang menilai pelemahan dolar hanya bersifat sementara. Setidaknya hingga akhir tahun dolar AS masih berada dalam tren penguatan karena kondusivitas dari kebijakan moneter yang masih bertahan pada suku bunga tinggi sampai paruh pertama 2024.

“Sektor tenaga kerja pun terpantau masih baik, sehingga ruang kenaikan masih tetap terbuka bagi dolar,” imbuh Nanang.

Baca Juga: Harga Minyak Turun Seiring Meningkatnya Kekhawatiran Gejolak di Timur Tengah

Sementara itu, Nanang menilai mata uang safe haven lainnya di kawasan Asia yakni Japanese Yen masih belum terlihat potensi penguatan lebih lanjut. Bank of Japan (BOJ) belum secara terbuka memberikan sinyal intervensi, walaupun sudah banyak kalangan sesumbar BOJ akan langsung intervensi apabila JPY tembus level US$ 150.

Namun apabila sikap dingin BOJ terus berlanjut, maka dapat mendorong pelemahan Yen ke level atas baru yakni menuju 151.90 dan menuju 155.00 per dolar. Saat ini, Yen Jepang sudah terapresiasi melampaui 149 per dolar AS.

Emas sendiri prospeknya masih abu-abu karena potensi kenaikan suku bunga The Fed masih terbuka setidaknya untuk satu kali kenaikan di akhir tahun 2023. Ditambah lagi, potensi kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS yang saat ini menjadi momok tersendiri bagi emas.

Nanang mencermati pergerakan XAUUSD sampai dengan akhir tahun bakal dalam tren penurunan hingga menuju ke bawah US$1800 per troi ons, tepatnya ke zona US$1765 per troi ons.

Di sisi lain, mata uang Israel yakni Shekel anjlok ke level terendah dalam 8 tahun baru-baru ini. Shekel menjadi mata uang yang dirugikan akibat konflik yang semakin memanas di Timur Tengah.

Bank of Israel mengatakan akan menjual cadangan devisa (cadev) hingga US$30 miliar dalam upaya untuk menjaga stabilitas shekel selama perang Israel dengan Hamas di Jalur Gaza.

“Hal ini tidak lepas karena ancaman perang yang akan berlangsung lama, sehingga menganggu perekonomian dan investor pun lebih memilih keluar dari Israel,” pungkas Nanang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK

[X]
×