Reporter: Cipta Wahyana, Fransiska Firlana, | Editor: Cipta Wahyana
JAKARTA. Kinerja PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) semakin mentereng. Berdasarkan laporan keuangan terbaru yang dirilis di situ resminya, BCA meraup laba bersih Rp 6,11 triliun hingga akhir September 2010. Pencapaian ini melonjak 20% jika dibandingkan laba akhir September 2009 yang hanya sebesar Rp 5,1 triliun.
Dengan laba sebesar itu, laba bersih per saham emiten saham berkode BBCA itu mencapai Rp 251 per saham atau naik dari Rp 209 per saham di akhir kuartal III-2009.
Sejatinya, jika kita perhatikan, pedapatan bunga bersih BCA turun cukup dalam. Di akhir kuartal III tahun ini, BCA hanya mengantongi pendapatan bunga bersih sebesar Rp 9,48 triliun atau turun 13,6% dari Rp 10,97 triliun di akhir kuartal III-2009.
Namun, dalam periode yang sama, pendapatan non bunga BCA melonjak hingga 57,4%, dari Rp 3,56 triliun menjadi Rp 5,60 triliun. Pendapatan yang bukan berasal dari margin bunga kredit dan simpanan ini di antaranya berasal dari pendapatan provisi, komisi, fee, dan administrasi yang mencapai Rp 2,92 triliun, naik 10,9% dari setahun lalu.
Selain itu, di akhir September 2010, BCA juga membukukan keuntungan dari penjualan aset finansial senilai Rp 1,71 triliun. Angka yang terakhir ini melonjak hingga 7.663,6% dibandingkan akhir kuartal III-2009 yang hanya Rp 22 miliar.
Selain itu, BCA juga masih membukukan laba dari kegiatan non operasi sebesar Rp 320 miliar.
Aset non kredit masih sangat besar
Selain laporan rugi-laba (income statement), neraca (balance sheet) bank yang dikuasai kelompok Djarum ini juga cukup mengesankan.
Setahun terakhir hingga akhir September 2010, dana pihak ketiga (DPK) BCA tumbuh 12,1% menjadi Rp 262,8 triliun. Pertumbuhan DPK itu didukung oleh dana giro yang meningkat 16,3% menjadi Rp 60,4 triliun dan tabungan yang tumbuh 13,5% menjadi Rp 136,6 triliun. Adapun kontribusi deposito sebesar Rp 65,8 triliun atau hanya naik 6%. "Pertumbuhan DPK kami memang di bawah pertumbuhan industri yang sebesar 13%. Tapi, bedanya kan cuma tipis, pertumbuhan kami 12%," kata Presiden Direktur BCA D.E Setijoso.
Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja menambahkan, BCA memang menekan porsi deposito sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan rasio penyaluran kredit atau loan to deposit ratio (LDR). "Bunga deposito yang kami tawarkan tidak sekompetitif bank lain. Bunga deposito kami rendah," tandasnya.
Di sisi aktiva, total aset BCA telah mencapai Rp 310,20 triliun di akhir September 2010 atau tumbuh 13,5% dari Rp 273,29 triliun di akhir September 2009. Aset ini di antaranya berupa kredit senilai Rp 138,90 triliun atau meningkat sekitar 23,2% jika dibandingkan posisi kredit di akhir kuartal III-2009 yang hanya sebesar Rp 112,72 triliun.
Setijoso merinci, kredit konsumer yang disalurkan BCA mencapai Rp 34,4 triliun di akhir September lalu. KPR menyusul dengan penyaluran kredit Rp 16,9 triliun, KKB sebesar Rp 12,9 triliun, dan kartu kredit Rp 4,6 triliun. "Kredit konsumer kami naik 35,2%, pertumbuhan itu didukung oleh tingkat suku bunga yang menarik dan tingginya permintaan nasabah," jelas Setijoso.
Namun, dana pihak ketiga BCA yang berputar di aset-aset non kredit juga masih sangat besar. Per akhir September lalu, total aset non kredit BCA yang mencakup sertifikat bank indonesia (SBI), penempatan di bank lain, obligasi pemerintah, dan surat berharga lainnya mencapai sekitar Rp 134,48 triliun.
Belum akan cari modal
Melihat komposisi ini, tak perlu heran jika, BCA hanya mencatatkan rasio penyaluran kredit atau loan to deposit ratio (LDR) sebesar 52,6% di akhir September. Angka ini sedikit lebih baik dibandingkan LDR di akhir September 2009 yang hanya 47,8%.
Selain LDR rasio-raio kinerja BCA cukup baik. Misalnya, rasio kredit macet atau non performing loan (NPL) kotor (gross) masih berada di angka 0,8%. Sementara, NPL bersih hanya 0,3%.
Namun, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) BCA terus menyusut. Di akhir kuartal III-2010, BCA mencatatkan CAR 15,6% atau turun dari 16,3% di akhir kuartal III-2009. CAR ini baru memperhitungkan risiko kredit dan pasar (credit & market risk). Jika kita masukkan risiko operasional (operational risk), CAR bank ini tinggal 14,7%.
Meskipun demikian, Jahja menegaskan, untuk sementara ini BCA belum berniat menerbitkan obligasi subordinasi untuk memperkuat modal meskipun hal itu sudah masuk dalam rencana bisnis bank (RBB). Dalam RBB itu, BCA berencana menerbitkan obligasi subordinasi (subdebt) US$ 200 juta. "Kalau diperlukan bisa saja diterbitkan karena sudah ada di RBB. Tapi, kami melihat bila pertumbuhan pinjaman kami 15% hingga 20%, ya tidak perlu menerbitkan subdebt. Jadi sampai sekarang, karena belum diperlukan, subdebt tidak diterbitkan," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News