Reporter: Yuwono Triatmodjo, Barly Haliem, Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Yuwono Triatmodjo
JAKARTA. Drama Bumi Plc yang kini bernama Asia Resources Minerals (ARM), memasuki babak ending. Grup Bakrie, investor pendiri ARM, perlu setahun lebih untuk memisahkan diri dari perkongsiannya dengan taipan Inggris, Nathaniel Rothschild.
Akankah kisah ini berakhir happy ending atau justru sebaliknya? Entahlah. Nirwan Dermawan Bakrie, petinggi Grup Bakrie, hanya menyatakan kelegaannya. "Alhamdulillah, transaksi sudah selesai," ungkap Nirwan kepada KONTAN, Jumat (21/3).
Dia menyatakan, nyaris semua urusan sudah tuntas, termasuk pembayarannya. Kini, ia tinggal menyelesaikan beberapa dokumen transaksi pemisahan (separation transaction). "Mungkin malam ini (tadi malam), semua selesai," tandas Nirwan.
Nah, konsekuensi pemisahan ini, Grup Bakrie bisa memboyong lagi 29,2% saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dari tangan ARM. Tapi, Grup Bakrie berkewajiban menyetor US$ 501 juta atau Rp 5,71 triliun (kurs US$ 1= Rp 11.500).
Manajemen ARM menyatakan optimismenya bahwa transaksi pemisahan ini segera tuntas dalam sepekan ke depan. Berdasarkan pengumuman resmi ARM yang terbit tadi malam (21/3), manajemen ARM menyatakan, Grup Bakrie telah mentransfer seluruh dana transaksi ini. Seluruh dana tersebut sudah tertampung dalam rekening khusus (escrow account).
Namun, lantaran terhalang libur akhir pekan, kemungkinan besar proses pencairannya akan berlangsung pada Senin (24/3). “Oleh karena itu, ARM menyetujui perpanjangan perjanjian jual beli saham BUMI sampai Selasa, 24 Maret 2014, dan mudah-mudahan semua tuntas pada Senin (24/3) atau paling lambat Selasa (25/4),” tulis manajamen ARM dalam rilis yang diterima KONTAN, Jumat (21/3) tengah malam.
Semula, kesanggupan Grup Bakrie mengakhiri transaksi ini memang sempat diragukan. Maklum, ia meminta penundaan penyelesaian transaksi sampai lima kali. Grup usaha ini menyatakan perlu waktu untuk menyediakan US$ 501 juta sebagai mahar atas 29,2% saham BUMI.
Penundaan itu boleh dibilang pilihan yang paling rasional yang bisa dilakukan oleh Grup Bakrie. Sebab, valuasi harga saham BUMI yang harus dibayarkan Grup Bakrie jauh di atas nilai wajar sahamnya.
Bayangkan, setahun terakhir, harga saham BUMI turun sekitar 61,5%. Pada 20 Maret 2013, harga BUMI berada di posisi Rp 780 per saham. Per 21 Maret 2014, harga saham perusahaan pertambangan batubara terbesar di Indonesia ini kurang dari setengahnya menjadi Rp 300 per saham.
Menurut hitungan ARM, nilai buku 29,2% saham BUMI per 31 Desember 2013 hanya US$ 372 juta. Kini, valuasi 29,2% saham BUMI juga setara atau sekitar US$ 372 juta. Sementara Grup Bakrie harus menebusnya senilai US$ 501 juta.
Di atas kertas, Grup Bakrie harus menombok sekitar US$ 129 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Dari mana menutup kekurangan itu, sementara nyaris semua bisnis Grup Bakrie sedang muram.
Boleh jadi, alasan itulah yang membuat Grup Bakrie yang dikomandoi Nirwan harus mengatur siasat dan mengeluarkan jurus manuver mencengangkan; menjual 23,8% saham ARM kepada Ravenwood Acquisition Company Limited (RACL) milik Samin Tan senilai US$ 223 juta. Setidaknya jurus sakti ini efektif menyiasati kekurangan pendanaan tersebut.
Tentu saja, penyelesaian transaksi ini masih meninggalkan sejumlah jejak, yang bisa jadi akan menjadi kisah baru yang tak kalah seru. Termasuk, benarkah Grup Bakrie sudah mengubur dalam-dalam semua impiannya di bursa London dan mengikhlaskan ARM berada di bawah kendali Rothschild? Apakah semua urusan ARM memang sekarang murni dipanggul Samin Tan, salah satu kolega dekat Grup Bakrie? Sejauh ini, semuanya masih misterius.
Satu hal lagi, taruh kata semua transaksi ini tuntas pekan ini dan Grup Bakrie kembali memboyong BUMI ke Tanah Air. Akankah akhir drama itu juga membawa ending membahagiakan bagi investor ritel BUMI di bursa saham Tanah Air? Sekali lagi, semuanya masih misterius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News