kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada ruang pemangakasan suku bunga, obligasi Indonesia masih prospektif


Jumat, 18 September 2020 / 07:51 WIB
Ada ruang pemangakasan suku bunga, obligasi Indonesia masih prospektif
ILUSTRASI. BI masih bisa memangkas suku bunga sebesar 25 bps di tengah inflasi Indonesia yang rendah.


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin (17/9), Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRR) di level 4%.

Fund manager PT Insight Investments Management Nesya F Agustini menilai, walau pada RDG kemarin BI tidak menurunkan suku bunga, peluang untuk penurunan suku bunga sebenarnya masih ada. Dia menilai, setidaknya BI masih bisa memangkas suku bunga sebesar 25 bps di tengah inflasi Indonesia yang rendah dan stabilnya nilai tukar rupiah. 

“Dengan adanya tren suku bunga rendah, kami melihat appetite investor masih cukup kuat pada obligasi. Dari perspektif investor asing, sebetulnya obligasi pemerintah Indonesia pun masih menawarkan yield yang sangat menarik dibandingkan sesama negara emerging markets lain, sehingga kami lihat yield Indonesia masih ada ruang penurunan jika dana asing kembali masuk,” ujar Nesya kepada Kontan.co.id, Kamis (17/9).

Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB juga disebut Nesya tidak akan berdampak pada pasar obligasi. Pasalnya, PSBB lebih berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi yang merupakan pendorong utama dari pasar saham. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah justru berpotensi menekan inflasi dan membuat suku bunga berpotensi untuk tetap rendah lebih lama. Suku bunga merupakan pendorong utama dari aset obligasi.

Baca Juga: Risiko Lebih Rendah, Reksadana Pendapatan Tetap Syariah Jadi Pilihan Saat Pandemi

Tapi, Nesya menyebut kondisi di pasar obligasi Indonesia saat ini masih kurang disokong oleh investor asing. Hal ini karena kepemilikan SBN perbankan domestik saat ini sudah melampaui kepemilikan asing. 

Menurut dia, ada tiga faktor yang membuat investor asing berhati-hati dan belum masuk lagi ke pasar obligasi. Pertama, hedging cost Indonesia yang cukup mahal. Kedua, risiko pasokan SBN akibat defisit anggaran yang naik jadi 6,34%. Ketiga, isu mengenai independensi BI dengan adanya wacana pembentukan dewan moneter.

Baca Juga: Investor domestik berhasil jaga permintaan obligasi di tengah larinya investor asing

“Sebenarnya hedging cost sudah teratasi tercermin dari NDF kita yang membaik di tengah perbaikan CAD dan forex reserve yang mencapai all time high. Untuk supply risk juga dapat diatasi di mana Kemenkeu dan BI melakukan skema burden sharing. Hanya isu dewan moneter yang masih menunggu perkembangan lebih lanjut,” sambung Nesya.

Dengan pertimbangan tersebut, Nesya melihat sebenarnya ada potensi kenaikan bila investor asing kembali memburu aset SBN. Namun, kembalinya investor asing juga tergantung pada kebijakan pemerintah dalam menanggulangi covid-19. Nesya pun memperkirakan yield untuk SUN acuan pada akhir tahun berada di kisaran 6,25%-6,75%.

Selanjutnya: Pasar sudah antisipasi keputusan BI, yield obligasi Indonesia bergerak stabil

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×