Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemulihan ekonomi dan perbaikan aktivitas para debiturnya diyakini akan jadi faktor utama pendorong kinerja PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) pada tahun ini. Hanya saja, potensi kenaikan inflasi dan suku bunga acuan harus diwaspadai karena bisa menjadi sentimen yang menghambat kinerja BBCA.
Kepala Riset Henan Putihrai Sekuritas Robertus Hardy meyakini kinerja BBCA pada kuartal pertama 2022 ini masih akan solid dan tumbuh positif. Menurutnya, faktor relaksasi PPKM yang semakin luas serta semakin pulihnya aktivitas ekonomi akan ikut mengangkat kinerja para debitur BBCA.
“Secara umum, perbaikan aktivitas bisnis para debitur inilah yang akan mendorong kinerja BBCA sepanjang tahun ini,” kata Robertus kepada Kontan.co.id, Senin (18/4).
Sementara analis BRI Danareksa Sekuritas Eka Savitri memperkirakan pada tahun ini BBCA bisa membukukan pertumbuhan pinjaman sebesar 10%. Menurutnya, BBCA mempunyai fleksibilitas untuk menurunkan bunga pinjaman di berbagai segmen seiring dengan rendahnya bauran cost of fund BBCA.
Baca Juga: Fundamental Mulai Goyah dan Valuasi Mahal, Simak Rekomendasi Saham BBCA
“Pertumbuhan pinjaman pada tahun ini utamanya akan didorong oleh segmen korporasi yang berpotensi tumbuh 10,5% secara yoy. Sementara untuk pinjaman konsumen, kami mengasumsikan pertumbuhannya sebesar 5,7% mengingat pembayaran bulanan yang cukup besar, yakni Rp 2 triliun untuk KPR dan Rp 1,8 triliun untuk kredit otomotif,” ujarnya.
Namun, Eka menyebut, pertumbuhan kredit yang menyasar debitur berkualitas tersebut membuat net interest margin (NIM) BBCA harus turun sekitar 20 bps menjadi 5,1%. Pasalnya, BBCA memberikan kesempatan bagi para debitur untuk mengganti floating rates menjadi fixed rates.
Dia menilai, hal ini dilakukan karena BBCA berusaha menjaga credit costs tetap rendah sekaligus menyamakan dengan risk appetite, supaya kualitas pinjaman masih dapat dikendalikan. Eka meyakini, bauran cost of fund diekspektasikan hanya akan naik 10 bps menjadi 1,1% mengingat nilainya kurang dari 1% per tahun dari tingkat CASA deposito.
Baca Juga: Tawaran Bunga Simpanan Tinggi Bank Digital Masih Berlanjut, Silakan Dipilih
Sementara itu, Robertus melihat, dari sisi katalis negatif, kenaikan harga BBM bersubsidi yang tengah dicanangkan bisa menjadi penghambat kinerja BBCA. Pasalnya, hal tersebut akan memicu lonjakan inflasi, yang pada akhirnya mendorong suku bunga naik sehingga berpotensi memperlambat pertumbuhan kredit BBCA pada tahun ini. Dia memproyeksikan pertumbuhan kredit BBCA pada tahun ini bisa mencapai angka 8,2%.
Saat ini, Eka memberi rekomendasi hold untuk saham BBCA dengan target harga Rp 7.800 per saham. Sementara Robertus masih mempertahankan rekomendasi beli untuk BBCA, bahkan dengan target harga yang lebih tinggi, yakni dari Rp 8.500 menjadi Rp 9.500 per saham.
Menurut Robertus, dengan nilai CASA milik BBCA yang lebih tinggi dibandingkan dengan kreditnya, bisa memberikan jaminan biaya yang lebih rendah. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa BBCA layak untuk memiliki valuasi premium dibanding emiten lain sejenis.
“Hal ini karena peran penting BBCA dalam meningkatkan konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi menyusul tingkat pinjaman terendahnya sepanjang masa untuk mobil dan KPR yang berlaku pada pameran ulang tahunnya,” tutup Robertus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News