kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada peluang bagi emiten CPO di tengah perang dagang


Senin, 09 April 2018 / 07:15 WIB
Ada peluang bagi emiten CPO di tengah perang dagang


Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih memanas. Aksi balasan China yang akan menetapkan tarif impor untuk sejumlah produk AS, memicu kekhawatiran pasar. Namun tanpa diduga, hal ini bisa memberi peluang bagi produsen minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO), seperti Indonesia dan Malaysia.

Salah satu produk AS yang akan dikenakan bea masuk adalah kedelai. Jika hal ini direalisasikan, harga kedelai bisa makin mahal. Sebagai gantinya, China berpotensi memilih produk CPO. "Kalau harga kedelai menjadi mahal, maka pasar akan mulai beralih ke CPO," ujar Yudha Gautama, Analis Danareksa Sekuritas kepada KONTAN, akhir pekan lalu.

Selama ini, China merupakan importir produk pertanian terbesar di dunia. Di tahun 2017 saja, China menyerap 64% dari produk kedelai global, atau setara dengan 93,5 juta ton. Sementara itu, AS merupakan produsen kedelai terbesar. Tahun lalu, produksinya mencapai 116,9 juta ton dan diperkirakan naik menjadi 119,5 juta ton pada tahun 2018 ini.

Analis Henan Putihrai Yosua Zisokhi juga menilai, pengaruh isu perang dagang sudah mulai terlihat dari penguatan harga CPO dalam beberapa hari terakhir. Strategi balasan China membuat pasar mulai berburu CPO.  "Sehingga, emiten perkebunan akan diuntungkan dalam jangka pendek dengan adanya kenaikan harga jual rata-rata (ASP)," papar dia.

Namun, Yosua memprediksi, sentimen ini hanya akan berlangsung sesaat. Pasalnya, AS akan berupaya mencari pasar kedelai selain China. Alhasil, pasokan kedelai global bisa kembali membengkak dan harga kedelai serta harga CPO bisa melorot lagi.

Menurut perhitungan dia, dalam jangka pendek harga CPO masih bisa menguat hingga RM 2.800 per ton. Moratorium lahan pun masih bisa menahan pertumbuhan produksi CPO jadi sekitar 5% saja. Setidaknya, hal ini bisa menahan kejatuhan harga CPO di level RM 2.600 per ton.

Di sisi lain, masih banyak pula sentimen negatif yang menghadang industri CPO. Yudha mengatakan, pasokan berlimpah dan kenaikan pajak impor di India masih tetap membayangi harga CPO.

Sentimen negatif

Yudha juga bilang, harga CPO sebenarnya masih dalam tren melemah. Sepanjang kuartal I-2018, harga CPO sudah terkoreksi 3,85% dibanding akhir 2017. Bahkan dalam perhitungannya, hingga akhir tahun ini harga CPO akan bergerak mendatar. "Jika tahun lalu harga rata-rata masih di kisaran RM 2.800 per ton, tahun ini mungkin hanya RM 2.700 per ton," papar dia.

Yasmin Soulisa, Analis Ciptadana Sekuritas, menilai, isu perang dagang justru tak berpengaruh langsung untuk emiten kebun. Soalnya, selama ini kedelai dari China lebih banyak digunakan sebagai pakan ternak. Ia bahkan memperkirakan harga CPO masih bisa melemah ke RM 2.500 per ton di tahun ini.

Di sektor ini, Yasmin merekomendasikan saham LSIP dengan target harga Rp 1.640 per saham. Selain karena kinerja keuangan yang sehat, produksi tandan buah segar LSIP juga masih tumbuh.

Yosua juga merekomendasikan LSIP dengan target harga Rp 1.710 per saham dan saham AALI dengan target Rp 16.710 per saham. Menurut dia, kedua emiten ini merupakan pemimpin pasar dengan jumlah lahan yang cukup luas.

Sementara itu, Yudha hanya menjagokan saham LSIP dengan target harga Rp 1.700. Meski ia memprediksi volume produksi LSIP stabil, kinerja keuangan LSIP cukup bagus lantaran tak punya utang. Selain itu, saham LSIP punya valuasi yang paling murah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×