Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konflik antara Rusia dan Ukraina telah memicu kenaikan harga berbagai komoditas, termasuk crude palm oil (CPO). Saat ini, harga CPO di bursa derivatif Malaysia sudah mencapai level RM per ton, atau naik sepanjang tahun ini.
Kinerja emiten perkebunan seperti PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) pada kuartal pertama 2022 diyakini akan akan mendapat katalis positif dari kenaikan harga CPO ini. Analis CGS CIMB Sekuritas Fernaldy Tanoko dalam risetnya pada 16 Februari menuliskan, konflik antar kedua produsen minyak biji matahari tersebut akan menghambat produksi dan ekspor minyak biji matahari.
Padahal, kedua negara tersebut berkontribusi terhadap 60% dari total produksi minyak biji matahari global pada 2020-2021. Adapun, minyak biji matahari merupakan minyak sayur ketiga yang paling banyak digunakan setelah minyak kacang kedelai dan CPO. Artinya, para konsumen minyak biji matahari akan beralih membeli antara minyak CPO atau kacang kedelai.
Baca Juga: Triputra Agro Persada (TAPG) Berupaya Memperkuat Bisnis di Sepanjang Tahun Ini
“Hal ini akan berlanjut sampai adanya perbaikan situasi konflik kedua negara tersebut. Alhasil, harga CPO dalam jangka pendek akan tetap tinggi dan di atas proyeksi kami yang seharga RM 4.100 per ton untuk 2022, di mana harga ini tidak menghitung sentimen kelangkaan minyak biji matahari,” tulisnya.
Fernaldy menambahkan, selain sentimen eksternal, terdapat juga sentimen dari dalam negeri, yakni kebijakan terkait domestic market obligation (DMO) untuk para eksportir CPO. Rencananya, para eksportir diharuskan menjual 20% dari produksi dengan harga yang sudah ditetapkan.
Hal tersebut dinilai akan semakin menjaga harga CPO global tetap tinggi. Ia memproyeksikan, harga CPO untuk bulan Maret akan bertahan di kisaran RM 4.500 per ton-RM 5.500 per ton.
Baca Juga: Siapkan Capex Rp 572 Miliar, Triputra Agro Persada (TAPG) Genjot Ekspansi Pabrik Baru
Kendati begitu, menurut dia TAPG tidak akan banyak terdampak dari kebijakan tersebut mengingat penjualan TAPG memang ditujukan untuk pasar domestik. Hanya saja, dengan harga jual Rp 9.300 per kg atau di bawah harga pasaran, bottom line TAPG bisa tergerus. Berdasarkan hitungan Fernaldy, laba bersih TAPG untuk tahun ini bisa terpangkas 9%.
Sementara untuk top line TAPG, dia meyakini tidak akan mengalami perubahan signifikan. Proyeksinya, TAPG bisa mengantongi pendapatan Rp 7,63 triliun untuk tahun ini. Adapun, untuk proyeksi laba bersih TAPG sebesar Rp 1,80 triliun.
“Dampaknya akan minim untuk proyeksi pendapatan TAPG, karena kami menggunakan asumsi harga CPO yang jauh di bawah harga pasar saat ini, yakni RM 4.100 per ton. Sementara harga CPO di pasar mencapai RM 5.573, atau 36% lebih tinggi,” imbuhnya.
Fernaldy masih mempertahankan rekomendasi beli untuk saham TAPG dengan target harga Rp 1.110 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News