Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Arus keluar dana asing diperkirakan terjadi pada periode Mei - Juni 2025. Alhasil, tekanan terhadap rupiah masih membayangi dalam jangka pendek.
Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto menuturkan periode Mei - Juni akan ada peningkatan kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) seiring repatriasi dividen. Karenanya, periode tersebut diperkirakan terjadi outflow.
"Kami lihat outflow sekitar US$ 3,4 miliar - US$ 4,2 miliar, tetapi tergantung agresivitas pemberian dividen berapa besar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (8/5).
Oleh karenanya, Myrdal melihat saat ini resistance rupiah berada di Rp 16.749 per dolar AS pada semester I-2025. Namun jika tertembus, maka resistance selanjutnya di Rp 16.920 per dolar AS.
Baca Juga: Rupiah Terus Dibayangi Berbagai Tekanan, Begini Prospek Arah Pergerakannya ke Depan
Ekonom Senior KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana mengamini tekanan terhadap rupiah. Apalagi dengan turunnya cadangan devisa Indonesia yang menimbulkan kekhawatiran kekuatan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan intervensi akan lebih terbatas.
Turunnya cadangan devisa, kata Fikri, juga menunjukkan bahwa ada tekanan dari net export Indonesia. Jadi, ada kekhawatiran current account deficit Indonesia masih akan berlanjut di kuartal I dan kuartal II ini.
"Ini yang mendorong adanya ekspektasi pelemahan rupiah secara fundamental," terangnya.
Ditambah, pertumbuhan uang primer (M0) Adjusted melambat di April 2025 dari Maret 2025 karena likuiditas yang lebih rendah di dalam negeri.
Baca Juga: Perang Dagang Menekan Pergerakan Rupiah Pekan Ini
"Khawatirnya ini yang juga mendorong prospek dari ekonomi, prospek dari fiskal dan juga pertumbuhan ekonomi, serta kemampuan bayar pemerintah untuk surat utang dan intervensi akan lebih terbatas," sambungnya.
Alhasil, secara fundamental ada tren rupiah akan tertekan. Hanya saja, masuknya dana asing bisa menopang pelemahan rupiah sehingga ke depan ada likuiditas yang lebih besar di rupiah.
Dari portofolio, Fikri menilai instrumen investasi domestik tetap menarik, misalnya obligasi dengan yield SUN 10 tahun di 6,9%. Sementara itu, di India hanya 6,34% dan Filipina 6,29%.
"Namun karena kekuatan fundamental itu, jadi risk premi Indonesia jauh lebih tnggi dibandingkan India dan Filipina," terangnya.
Lalu, potensi dana asing masuk di pasar saham juga akan cenderung terbatas dengan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kemudian di SRBI juga terlihat investor wait and see, tercermin dari total yang dimenangkan pada lelang hari ini turun menjadi Rp 16 triliun dari Rp 21 triliun pada pekan lalu.
Namun secara keseluruhan, ia memperkirakan rupiah akan berada di Rp 16.320 - Rp 16.520 per dolar AS pada akhir tahun nanti. Ini mempertimbangkan hasil negosiasi tarif yang positif, serta penurunan suku bunga the Fed dan BI.
Selanjutnya: IHSG Menguat dalam Sepekan Terakhir, Cermati Sentimen dan Saham Rekomendasi Analis
Menarik Dibaca: Yura Yunita Rilis Lagu Tanda, Nicholas Saputra Jadi Bintang Video Klipnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News