Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pasar surat berharga negara (SBN) mengalami masih bergejolak. Yield seluruh obligasi seri acuan atau benchmark mengalami tekanan.
Data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) mencatat, yield seri FR0066 bertenor lima tahun naik menjadi 8,077% pada perdagangan Rabu (28/8) ketimbang perdagangan Selasa (27/8) sebelumnya yang berada di level 8,03%. Harga instrumen ini turun menjadi 89.080 dibandingkan sebelumnya yang sebesar 89.246.
Demikian juga dengan yield seri FR0063 bertenor 10 tahun yang naik menjadi 8,7% dari sebelumnya yang sekitar 8,6%. Harga seri ini turun menjadi 79.714 dari sebelumnya yang sebesar 80.341. Seri FR0064 bertenor 15 tahun juga mengalami kenaikan yield menjadi 8,99% ketimbang sebelumnya yang sekitar 8,86%. Sedangkan harga instrumen ini turun menjadi 76.991 dari 77.678.
Dan seri FR0065 mengalami kenaikan yield menjadi 9,04% dibanding sebelumnya yang sebesar 8,9%. Harga seri ini turun menjadi 77,875 dari sebelumnya yang sebesar 78.9992.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Tbk Destry Damayanti mengatakan minimnya peran investor lokal ikut memicu tekanan pasar obligasi negara. Saat ini, aktivitas jual beli atau trading obligasi negara didominasi oleh asing mencapai 70%. Sedangkan investor lokal cenderung menggenggam kepemilikan obligasi dan hanya sekitar 30% saja yang melakukan trading.
"Trading mengakibatkan pasar bergerak naik. Sedangkan asing cenderung bergerak searah dalam melakukan aksi jual ataupun beli. Sehingga apabila asing keluar, maka pasar obligasi kita akan merespon dan turun dalam," kata Destry, Jakarta.
Padahal, dari sisi porsi kepemilikan asing belum terlalu besar atau hanya sekitar 30% dari total obligasi negara.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementrian Keuangan mencatat kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 286,78 triliun pada 26 Agustus 2013. Sedangkan total SBN mencapai Rp 915,07 triliun.
"Berbeda dengan negara lain seperti Malaysia atau Filipina dimana investor lokal cukup besar sehingga saat terjadi gejolak pasar seperti ini, penurunan pasar tidak dalam," ujar Destry.
Destry mengatakan keengganan investor lokal melakukan trading obligasi lantaran kesadaran investor dalam memanfaatkan pasar modal masih terbatas. Mayoritas masyarakat Indonesia masih menempatkan dananya di perbankan.
"Pemikiran masyarakat Indonesia masih menyimpan uang, bukan berinvestasi. Sekitar 70% hingga 80% financial asset ditempatkan di bank," ujar dia.
Dia menduga tekanan di pasar obligasi tidak akan berlangsung lama. Diperkirakan, yield obligasi kembali stabil pada September. "Yield obligasi saat ini sudah price in dan merespon fluktuasi pasar," ujar dia.
Investor institusi, Dana Pensiun Taspen mengaku belum menerapkan trading di SUN. Asiwandi Gandhi, Direktur Utama Dana Pensiun Taspen mengatakan kebijakan trading akan dilakukan tahun ini menyusul diberlakukannya pencatatan akutansi international financial reporting standard (IFRS), akhir tahun lalu. Namun, fluktuasi pasar obligasi mengakibatkan perusahaan menunda trading dan memilih menggenggam instrumen hingga jatuh tempo.
"Selama ini kami memegang obligasi hold to maturity (HTM) dan saat ini kami memilih untuk wait and see dulu dan belum mengambil keputusan," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News