Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Mayoritas saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) cenderung mencatatkan kinerja (return) konservatif. Berdasarkan data BEI, sejak tahun 2009 hingga 2016, hanya sekitar 5% atau kurang dari 30 saham emiten di BEI yang mencatatkan rata-rata imbal hasil di atas 40% per tahun.
Mayoritas emiten, yakni sekitar 58% atau 300 saham, hanya mencatatkan rata-rata imbal hasil sebesar 5% per tahun. Sedangkan sisanya memiliki rata-rata pertumbuhan moderat.
Perinciannya, sekitar 64 saham emiten atau 12% saham mencatatkan rata-rata imbal hasil sebesar 30%. Lalu sebanyak 134 saham emiten memberikan imbal hasil sebesar 20%, serta lebih dari 200 saham mencatatkan return sebesar 10%.
Terlepas dari besar kecilnya saham beredar masing-masing emiten, pencapaian tersebut merefleksikan kondisi fundamental para emiten.
Analis Senior Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menyebutkan, kondisi makro dan segmen bisnis yang digarap akan menentukan kualitas fundamental emiten, meski terkadang kinerja saham bergerak berlawanan dengan kondisi fundamentalnya.
Misalnya, saham emiten sektor pertambangan yang menjadi penopang indeks menjelang penutupan akhir tahun lalu. "Kinerja sahamnya bagus, tapi fundamentalnya kurang oke," ujar Reza kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Analis Panin Sekuritas Frederik Rasali menambahkan, fundamental menjadi salah satu rujukan penting investor untuk berinvestasi. Menurut dia, perusahaan yang sudah memasuki fase dewasa atau mature company umumnya sudah sulit berkembang lagi atau berekspansi karena penetrasi pasarnya sudah sangat kuat.
Jadi, jika investor masuk ke saham perusahaan seperti ini, maka keuntungan terutama cuma akan datang dari pembagian dividen. Yang perlu dicermati adalah saat masuk ke perusahaan yang masih dalam fase pertumbuhan atau growing company.
Solid atau tidaknya fundamental emiten dalam kategori ini salah satunya bisa dilihat dari kondisi kinerja keuangannya. "Laba rugi itu bisa dihitung dengan prinsip akrual. Jangan sampai labanya tinggi namun nyatanya arus kasnya tidak menunjukkan hal yang demikian," jelas Frederik.
Sisi manajemen juga sangat menentukan. Ini ada kaitannya dengan prinsip good corporate governance (GCG). "Nature dari initial public offering (IPO) juga penting, tujuan si pemilik perusahaan untuk IPO itu apa," ungkap Frederik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News