Reporter: Riska Rahman | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bagi mereka yang membidik untung besar sekaligus penuh tantangan, pasar saham bisa menjadi saluran yang pas. Laju saham yang tak mudah ditebak bisa dimanfaatkan untuk mengail cuan.
Biasanya, pelaku pasar tipe ini senang mencari saham lapis kedua dan lapis ketiga. Sebab, saham jenis ini berpotensi mendatangkan return hingga ratusan persen. Ini membuat para trader bisa kaya mendadak.
Meski begitu, trader yang senang menjajal saham seperti ini harus ekstra waspada. Walau bisa untung berkali-kali lipat, saham lapis kedua dan lapis ketiga bisa saja mendatangkan kerugian berkali lipat juga. Sederhananya, bermain saham tipe ini memberikan sensasi ngeri-ngeri sedap.
Ambil contoh saham PT Prima Cakrawala Abadi (PCAR). Emiten yang baru mencatatkan saham pada 29 Desember 2017 ini telah mencetak return 805,51% year-to-date (ytd). Hampir mirip, saham Intikeramik Alamasri Industri (IKAI) juga sudah mencetak return 721,92% (ytd).
Pencapaian ini melampaui jauh saham blue chips seperti Unilever Indonesia (UNVR). Sejak awal tahun ini, harga saham UNVR malah merosot, yaitu minus 9,93%.
Meski menarik, tak semua orang berani bermain di saham yang bisa mencetak untung berkali-kali lipat. Salah satunya Kresna Mukti Sarwoko, seorang trader pemula yang aktif bertransaksi saham setiap hari.
Meski punya beberapa saham lapis kedua dan ketiga, ia enggan masuk saham yang memberi untung lebih dari 500% seperti PCAR dan IKAI. "Saya masih tetap mementingkan fundamental sebelum memilih saham," ungkap Kresna.
Bagi dia, fundamental emiten tetap nomor satu. Pasalnya, Kresna bukanlah tipe trader yang senang "berjudi" atas nasibnya di pasar saham. Untuk itu, ia tetap memasukkan pertimbangan sentimen bisnis dan kinerja emiten sebelum membeli saham.
Tak hanya fundamental, Kresna juga menghitung valuasi secara mandiri. Hal itu membantunya dalam menentukan risiko saham yang dibeli. "Jadi, walaupun keuntungannya sampai ratusan persen, selama hitungannya masih pas, saya tidak khawatir," terang Kresna. Namun ia urung merinci perhitungan valuasi secara mandiri itu.
Pengamat pasar modal Satrio Utomo, yang juga aktif bertransaksi saham, mengaku tak memasukkan saham "gorengan" ke portofolionya. Pengalamannya selama bertahun-tahun di pasar saham membuatnya lebih selektif memilih saham mana yang layak investasi.
Bagi Satrio, hanya saham yang memiliki coverage 10 analis yang layak koleksi. Lantaran hal ini, ia tak menyarankan trader memilih saham "gorengan" meski menawarkan return menggiurkan. "Sebab, biasanya pergerakan saham ini diatur orang-orang tertentu di balik saham tersebut, yang ingin meraih untung," kata Satrio.
Akan tetapi, jika trader gemar bermain di saham yang memberikan return jumbo, Satrio punya beberapa tips agar mereka tak terjebak. Pertama, jangan terlalu percaya pada rekomendasi di pasar. Ini biasanya terjadi pada investor newbie yang kerap terjebak.
Menurut Satrio, investor harus tetap mengikuti firasat sendiri sebelum membeli atau menjual saham. Sebab, acapkali rekomendasi itu diberikan orang tertentu yang ingin mengambil untung.
Kedua, Satrio menyarankan masuk ke saham ketika berada di level cut loss. Ini jadi level ideal untuk masuk, apalagi jika harga saham itu berpotensi terus meningkat, baik secara teknikal maupun sentimen. Terakhir dan menjadi tips paling penting, ialah tetap mencermati fundamental emiten serta analisis teknikal saham yang akan dibeli.
Cara ini bisa jadi penentu apakah saham itu layak investasi atau cuma cocok untuk trading. "Di samping itu, pelaku pasar juga harus mengetahui perbedaan antara trading dan investasi," kata Satrio. Dengan mengetahui perbedaan ini, pelaku pasar bisa memilih saham mana yang tepat untuk dijadikan alat investasi dan tak terjebak di suatu saham.
Senada, pengamat pasar modal Teguh Hidayat juga menyarankan trader tidak bermain di saham "gorengan". Namun untuk para pemodal kecil yang memiliki modal terbatas, memang tak ada salahnya memilih saham lapis kedua dan ketiga untuk dikoleksi, asalkan mereka tahu konsekuensinya.
Tetapi untuk pemodal besar, Teguh menyarankan tidak bermain di saham-saham "gorengan". "Modal besar lebih baik untuk investasi di saham yang tidak memiliki volatilitas tinggi," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News