Reporter: Widiyanto Purnomo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Peraturan baru pemerintah yang menaikkan bea masuk impor bagi barang konsumer berpotensi membuat gerah beberapa emiten ritel. Tapi ada juga beberapa emiten ritel yang justru di tidak terlalu kena dampak beleid baru.
Beleid baru berupa Peraturan Menteri Keuangan akan menaikkan tarif bea masuk impor barang konsumsi menjadi antara 15%-150%. Aturan yang berlaku efektif mulai 23 Juli 2015 ini menyasar lebih dari 60 kelompok barang konsumsi. Mulai dari makanan, minuman, pakaian hingga kendaraan bermotor dan perabot rumah tangga.
Herman Tjahjadi, Analis RHB OSK Securities, menilai, beberapa emiten ritel yang memiliki porsi jualan produk impor yang besar bakal dirugikan oleh beleid baru ini.
Beberapa emiten tersebut seperti PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) dan PT ACE Hardware Indonesia Tbk (ACES). Menurut Herman sebanyak 50% produk jualan ACES merupakan produk impor. Porsi jualan produk impor MAPI adalah 60%.
Patricia Gabriela, Analis Buana Capital, menilai, kedua emiten ini masih punya ruang gerak. Contoh saja ACES yang sebanyak 50% produk impor jualannya berasal dari Tiongkok. Produk-produk free trade agreement (FTA) asal China tak terimbas kenaikan tarif bea impor ini.
Menurut Patricia, divisi makanan dan minuman MAPI, seperti Starbucks, paling terdampak beleid baru ini lantaran bahan bakunya sebagian besar impor. Namun, kontribusi divisi ini hanya sekitar 13% dari total pendapatan. Sehingga efek negatif tak signifikan terhadap pendapatan. MAPI juga masih punya ruang gerak untuk produk pakaian dan sepatu. Sebagian produk seperti yang dijual di gerai sepatu Payless Shoesource juga diimpor dari China.
"Paling terasa dampaknya adalah produk fesyen impor yang berasal dari negara non FTA, seperti Zara," imbuhnya. Emiten ritel yang juga bakal terkena dampak dari beleid baru ini adalah PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) pemilik gerai Ranch Market yang sebagian besar produk makanan dan minuman merupakan lansiran luar negeri.
William Surya Wijaya, Analis Asjaya Indosurya Securities mengatakan, emiten bisa menyesuaikan untuk menjaga margin. Penyesuaian harga memang berpotensi memperlambat penjualan. Tapi, perlambatan penjualan tidak akan terjadi dalam jangka waktu yang lama lantaran sebagian besar konsumen Ranch Market merupakan kalangan menengah dan menengah ke atas. Sementara, menurut Herman meski harga dapat disesuaikan konsumen juga punya batasan kemampuan daya beli.
Masalahnya, daya beli masyarakat tergerus perlambatan ekonomi. Ditambah lagi dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Adapun menurut Patricia, manajemen MAPI dalam waktu dekat memang belum berencana menyesuaikan harga. Namun bisa jadi MAPI suatu saat bakal mengerek juga harga jualnya.
Dian Octiana, Analis Trimegah Securities, mengatakan, emiten yang tidak terlalu kena imbas dari beleid baru ini adalah PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) dan PT Matahari Putra Prima (MPPA). Sebab, sebagian besar produk kedua emiten ini merupakan pasokan dalam negeri.
Dian mengatakan, ada harapan perbaikan dengan pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang membaik pada semester II. Namun, Dian memprediksikan hal ini tak lantas menggairahkan bisnis ritel serta mereduksi dampak dari peraturan baru ini.
"Masyarakat lebih suka menabung di tengah kondisi melambatnya ekonomi," jelasnya. Sementara Herman masih wait and see terhadap kemungkinan positif ini. Menurut Herman, membaiknya ekonomi amat bergantung terhadap sejauh mana penyerapan anggaran pemerintah di sektor infrastruktur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News