kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Minyak WTI melejit, tapi masih sulit tembus US$ 80 sebarel


Kamis, 19 April 2018 / 21:19 WIB
Minyak WTI melejit, tapi masih sulit tembus US$ 80 sebarel
ILUSTRASI. Harga minyak


Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang pekan ini, harga minyak mentah terus bergerak naik hingga mencapai level US$ 69 per barel. Euforia pasar kian bertambah, setelah salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia, Arab Saudi, menyatakan keinginan untuk melihat harga minyak menyentuh level US$ 80 sebarel, bahkan menembus US$ 100 di akhir tahun ini.

Mengutip Bloomberg, Kamis (19/4) pukul 18.20 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange menguat 0,98% ke level US$ 69,14 per barel.

Namun, analis PT Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menilai, harga WTI belum terlihat sanggup menembus level US$ 80 per barel pada tahun ini. Meski harga saat ini ditopang oleh berkurangnya jumlah persediaan minyak Amerika Serikat (AS), namun kondisi tersebut tidak akan bertahan lama.

Arah pergerakan harga minyak akan dipengaruhi tingkat pasokan minyak mentah AS dan kepastian soal kelanjutan OPEC memangkas produksi.

Energy Information Administration (EIA) melaporkan, tingkat produksi minyak AS masih berada pada level 10,54 juta barel per hari sepanjang pekan lalu. "Angka produksi ini masih tinggi dan semakin mendekati produksi Rusia," ujar Deddy, Kamis (19/4).

Aktivitas pengeboran minyak di AS yang tinggi juga terjadi seiring penambahan sumur yang saat ini jumlahnya telah mencapai 815 unit.

Senada, analis Global Kapital Investama, Nizar Hilmy menambahkan,  laju harga minyak ke depan juga masih ditentukan oleh hasil rapat tahunan OPEC pada Juni mendatang. Dalam rapat ini, akan diputuskan secara resmi apakah negara-negara anggota OPEC dan Rusia masih bersedia melanjutkan kebijakan pemangkasan produksi yang selama ini menopang harga.

"Kalau kebijakan berlanjut, tentu akan menjadi katalis positif buat harga minyak. Sebaliknya, penghentian kesepakatan bisa sangat menekan harga," kata Nizar, Kamis (19/4).

Di tengah kondisi AS yang masih menggenjot produksi, Deddy berpendapat, harga minyak juga sangat bergantung pada tingkat permintaan. Konflik perang dagang yang belum kunjung berakhir, berpotensi mengancam perekonomian global ke depan.

Apalagi, data inflasi sejumlah negara besar seperti Uni Eropa, Inggris, dan Jepang, baru-baru ini belum memenuhi ekspektasi. Lesunya ekonomi akan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap komoditas.

"Secara fundamental, harga minyak belum sekuat itu. Kita lihat kondisi harga setelah Juni nanti apakah mampu menembus US$ 70 per barel," imbuh Deddy.

Perlu diingat juga, masih ada potensi kenaikan lanjutan suku bunga acuan AS yang membayangi pasar. Naiknya suku bunga tentu akan menguatkan mata uang dollar dan memberi dampak negatif pada komoditas berdenominasi dollar AS.

Untuk itu, Deddy memprediksi, hingga akhir kuartal-II 2018, harga minyak masih akan berada dalam rentang US$ 63,80-US$ 69 per barel. Sementara, Nizar melihat harga minyak masih akan bergerak di level US$ 62-US$ 72 per barel hingga akhir Juni nanti.

Mengutip Bloomberg, Kamis (19/4) pukul 18.20 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange menguat 0,98% ke level US$ 69,14.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×