Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mulai menyiapkan sejumlah ekspansi organik pada tahun ini. Perusahaan tambang ini menganggarkan belanja modal alias capital expenditure (capex) US$ 95 juta, setara Rp 1,3 triliun.
Sebagian besar capex tahun ini akan digunakan untuk pengembangan bisnis. Lalu, sekitar US$ 18 juta akan digunakan untuk perbaikan mesin produksi secara berkala.
Tahun ini, INCO menargetkan produksi nikel sebesar 77.800 ton, naik sekitar 1% dibanding realisasi tahun lalu, 76.807 ton. Sayangnya, manajemen INCO belum bisa memprediksi perolehan pendapatan dan laba bersih tahun ini.
Dibanding capex tahun lalu sebesar US$ 90 juta, nilai capex tahun ini hanya naik 5%. Namun tahun lalu INCO hanya menyerap capex US$ 68 juta.
Sumber pendanaan capex masih berasal dari dana kas internal. "Tidak ada masalah soal pendanaan," ujar Direktur Keuangan INCO Febriany Eddy di Jakarta, Rabu (4/4).
Hingga akhir 2017, total kas setara kas INCO mencapai US$ 221,69 juta. Angka ini naik 19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, US$ 185,56 juta.
Beban produksi
Sebagai produsen nikel, kinerja INCO memang tak lepas dari harga komoditas ini. Selain itu, pergerakan harga batubara dan minyak juga mempengaruhi kinerja INCO lantaran keduanya merupakan komponen utama dalam operasional produksi INCO. "Biaya energi sekitar 30% dari cash cost kami," ujar Febriany.
Sebagai gambaran, sepanjang 2017, beban pokok INCO tercatat US$ 622,78 juta. Dari jumlah itu, senilai US$ 174,17 juta merupakan pengeluaran untuk bahan bakar minyak dan batubara.
Karena perusahaan tidak bisa mengontrol harga, satu-satunya jalan menekan beban adalah dengan melakukan strategi efisiensi. Secara perlahan, INCO mulai beralih ke komoditas batubara sebagai bahan bakar utama.
Meski harga batubara masih tinggi, namun INCO menyiasatinya dengan menyiapkan beberapa jaringan instalasi pengolahan bijih nikel yang disebut kiln. Dus, penggunaan batubara bisa tetap lebih efisien ketimbang minyak.
INCO berencana memiliki lima kiln. Salah satunya sudah mulai beroperasi tahun lalu. Strategi ini rupanya membuahkan hasil. "Kami bisa menghemat US$ 23 juta setahun," imbuh Febriany.
Bulan ini, INCO bakal melakukan percobaan operasional kiln kedua yang ditargetkan bisa beroperasi penuh sebelum tutup tahun ini. Dengan adanya kiln, INCO bisa terus meningkatkan efisiensi. Perusahaan juga berharap harga komoditas nikel membaik.
Frederick Daniel, analis Indo Premier Sekuritas, memprediksi, harga nikel tahun ini akan naik menjadi US$ 13.000-US$ 14.000 per ton dari sebelumnya US$ 12.000 per ton. "Dengan asumsi tersebut, kami menaikkan estimasi pendapatan INCO. Tahun ini diprediksi tumbuh 19% dan tahun depan tumbuh 47%," tulis Frederick dalam risetnya, 2 Maret 2018 lalu.
Sepanjang tahun 2017, pendapatan INCO tercatat sebesar US$ 629,33 juta. Frederick pun mempertahankan rekomendasi buy saham INCO dengan target harga Rp 4.500 per saham. Kemarin, saham INCO melemah 20 poin ke level Rp 2.980 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News