Reporter: Dimas Andi | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten pengembang energi baru terbarukan (EBT) mencatatkan kinerja keuangan yang bervariasi pada 2024. Peluang pertumbuhan bagi emiten-emiten di sektor ini masih cukup terbuka kendati progres transisi menuju energi hijau di Indonesia masih berjalan lambat.
Beberapa emiten di sektor EBT telah merilis laporan keuangan 2024. Salah satunya adalah PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang meraih kenaikan tipis 0,31% year on year (yoy) pada pendapatannya menjadi US$ 596,82 juta pada akhir 2024. BREN juga membukukan kenaikan laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 13,67% yoy menjadi US$ 122,20 juta.
Emiten lainnya, yakni PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) mencetak pendapatan senilai Rp 238,91 miliar pada 2024 atau tumbuh 31,10% yoy pada 2024. Namun, laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk ARKO berkurang 20,02% yoy menjadi Rp 41,80 miliar.
Sementara itu, PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN) mengalami penurunan pendapatan 21,14% yoy menjadi US$ 37,87 juta pada 2024. Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk KEEN juga menyusut 51,74% yoy menjadi US$ 6,23 juta.
Baca Juga: Superior Prima (BLES) Terapkan EBT, Incar Kontribusi pada Bangunan Nol Emisi
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan mengatakan, kinerja keuangan emiten EBT yang bervariasi, seperti BREN mampu mencetak pertumbuhan laba bersih dua digit sedangkan ARKO dan KEEN mengalami tekanan dari sisi bottom line, mencerminkan adanya tantangan efisiensi dan skala operasional.
Walau begitu, prospek kinerja emiten-emiten pengembang EBT diyakini tetap positif pada 2025 terlepas dari belum optimalnya pelaksanaan transisi energi hijau di Indonesia. Target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 memang tampak sulit tercapai, mengingat sampai awal Desember 2024 lalu realisasinya baru mencapai 13,93%. Namun, hal ini justru membuka ruang percepatan investasi di sektor tersebut.
"Emiten yang sudah lebih dulu mengembangkan proyek EBT, seperti BREN dan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), akan menjadi penerima manfaat utama dari meningkatnya minat pemerintah dan swasta terhadap sumber energi hijau," ujar Ekky, Senin (24/3).
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta menambahkan, potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia masih sangat melimpah dan banyak yang belum dimaksimalkan, sehingga ini bisa menjadi peluang bagi emiten-emiten EBT untuk terus berekspansi.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan seperti solar sebesar 3.294 gigawatt (GW), angin sebanyak 155 GW, air 95 GW, arus laut 63 GW, bahan bakar nabati 57 GW, dan panas bumi 23 GW.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Emiten EBT di Tengah Sentimen Eksternal dan Domestik
Hanya saja, pengembangan EBT bukan perkara mudah. Dibutuhkan biaya investasi atau capital expenditure (capex) yang besar untuk menggarap suatu proyek pembangkit listrik EBT. Tingginya kebutuhan investasi ini disebabkan teknologi EBT tergolong kompleks dan mahal. Belum lagi, proses eksplorasi hingga konstruksi pembangkit EBT membutuhkan waktu relatif panjang.
Kondisi ini cukup menantang bagi para pelaku usaha EBT, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan kapasitas modal. Jika salah perhitungan dalam menggalang pendanaan, bukan tidak mungkin emiten yang
"Emiten-emiten di sektor EBT perlu lebih jeli dalam mencari sumber-sumber pendanaan untuk proyek mereka," kata Nafan, Senin (24/3).
Selain kebutuhan investasi yang tinggi, emiten-emiten EBT juga dihadapkan oleh ketidakpastian regulasi. Misalnya, sampai saat ini Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) belum disahkan, sehingga menimbulkan ketidakjelasan arah kebijakan sekaligus menghambat investasi sektor EBT secara jangka panjang.
Baca Juga: Green Power (LABA) Teken Kerja Sama Dengan ZTE Indonesia di Bidang EBT
Tak hanya itu, beberapa skema harga jual listrik atau feed in tarif yang berlaku saat ini dipandang belum cukup menarik bagi investor swasta. Rendahnya daya tarik ekonomi pada proyek EBT membuat minat investor terbatas, sehingga ekspansi dan realisasi proyek di sektor ini tampak kurang optimal.
Kombinasi sentimen negatif tadi yang pada akhirnya berdampak pada ketidakstabilan kinerja keuangan emiten-emiten pengembang EBT.
"Sebagian emiten masih mencatat fluktuasi laba yang signifikan karena belum mencapai skala ekonomi optimal dan masih dalam tahap awal pengembangan proyek," kata Ekky.
Ekky menilai, PGEO menjadi emiten EBT yang paling menarik untuk diinvestasikan oleh para investor. Dia menyematkan rekomendasi beli saham PGEO dengan target harga terdekat di kisaran Rp 900 - Rp1.100 per saham jika terjadi penguatan lebih lanjut.
Di sisi lain, Nafan merekomendasikan akumulasi beli saham BREN dengan support di level Rp 5.475 per saham dan Rp 4.580 per saham serta target harga di level Rp 6.350 per saham, Rp 6.575 per saham, dan Rp 8.350 per saham.
Selanjutnya: Presiden Prabowo Resmi Lantik 31 Duta Besar, Ini Daftarnya
Menarik Dibaca: Gabung elevAIte, Jobstreet by Seek Dorong Keterampilan AI Talenta Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News