Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Yuwono Triatmodjo
JAKARTA. Pendanaan dari penerbitan saham baru (rights issue) diminati emiten sepanjang tahun ini. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, hingga 22 November 2013, total nilai rights issue sudah tercatat Rp 27,55 triliun. Jumlah ini melesat dari nilai emisi rights issue sepanjang tahun 2012 yang bernilai Rp 18,19 triliun.
Aksi tersebut, dalam catatan OJK, dilakukan oleh 20 emiten. Kebanyakan, pendanaan rights issue dilakukan oleh emiten sektor keuangan, baik perbankan, maupun non perbankan. Nilai rights issue terbesar sepanjang tahun ini dilakukan oleh PT Dyviacom Intrabumi Tbk (DNET). DNET melepas 14 miliar saham baru senilai Rp 7 triliun.
Asal tahu saja, sumber pendanaan lewat penerbitan surat utang (obligasi) di tahun ini kurang populer. OJK mencatat, hanya ada 11 emiten yang menerbitkan obligasi baru senilai total Rp 8,25 triliun. Jumlah itu belum mencakup penerbitan surat utang syariah atau sukuk senilai Rp 1,62 triliun. Asal tahu saja, emisi obligasi itu masih lebih kecil jika dibandingkan tahun 2012 yang tercatat Rp 24 triliun.
Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman menyebut, rights issue menjadi pilihan emiten yang tidak mau bermasalah dengan beban kenaikan bunga. Pendanaan dari obligasi dan medium term notes (MTN) dirasa bukan pilihan yang tepat mengingat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang tinggi. "Rights issue dilakukan untuk menghindari beban kenaikan suku bunga yang tahun ini cukup tinggi," jelas Norico, Senin (25/11).
Kini, beberapa emiten masih merencanakan rights issue di sisa tahun 2013. Sebut saja misalnya PT Nipress Tbk (NIPS) yang berniat melepas 742,86 juta saham. Harga pelaksanaan rights issue NIPS berkisar Rp 350-Rp 450 per saham. Jika berjalan optimal, NIPS akan menyabet dana segar Rp 260 miliar.
Sementara itu, PT Hanson International Tbk (MYRX) juga akan menerbitkan saham baru sebanyak 8,35 miliar saham dengan harga Rp 550 per saham. MYRX berharap dapat meraup dana yang besar mencapai hingga Rp 4,6 triliun melalui aksi korporasi ini.
Cermati penggunaan dana
PT ATPK Resources Tbk (ATPK) juga sebenarnya mencari pendanaan dari rights issue dengan menerbitkan 4,85 miliar saham. Harga penawaran dipatok di level Rp 220 per saham, sehingga potensi dana segar yang bisa diperoleh peroleh sebanyak Rp 1,07 triliun.
ATPK telah menunjuk PT Pacific Prima Coal (PPC) sebagai pembeli siaga perhelatan ini. Namun, "Kami masih belum mendapat izin (OJK), jadi tidak bisa menggelar RUPS untuk meminta izin rights issue," ujar Albert Bungin, Direktur Keuangan ATPK (lihat halaman 13).
Norico menyarankan kepada investor yang tertarik membeli saham rights issue agar lebih cermat dalam memilih saham emiten yang akan melaksanakan rights issue. Terutama, soal penggunaan dana hasil penerbitan rights issue.
Harga saham emiten yang menggunakan dana rights issue untuk membayar utang, berpotensi turun pasca aksi korporasi tersebut. "Selain itu, cermati juga likuiditasnya dan efek dilusi yang terjadi terhadap pemegang saham," ujar dia.
Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities, menambahkan, rights issue memang tidak menjadi jaminan harga saham akan beranjak menguat terus. Namun, biasanya, harga saham rights issue yang lebih rendah daripada harga pasar bisa mendongkrak minat investor.
Reza memperkirakan, aksi rights issue di tahun depan tak akan sebesar tahun ini. Sebab, risiko meningkat seirama dengan perhelatan pemilihan umum (pemilu) di tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News