Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai transaksi kripto diperkirakan bisa kembali bangkit di tahun 2024. Sentimen bitcoin halving seharusnya menarik minat investor untuk berinvestasi.
CEO Reku Sumardi mengamati, perilaku berinvestasi di Indonesia biasanya mengacu pada pergerakan harga suatu aset. Tidak hanya terjadi di pasar saham, investor kripto juga mempertimbangkan harga sebelum memutuskan untuk membeli aset.
Dengan tren investor yang utamanya melihat pergerakan harga kripto, maka secara mekanisme transaksi aset kripto juga akan meningkat. Hal tersebut seiring momentum halving bitcoin karena tahun depan diyakini sebagai pesta industri kripto.
“Kalau harga sedang naik, investasi biasanya lebih besar. Jika demikian, maka secara mekanisme transaksi aset kripto harus naik,” kata Sumardi dalam Workshop #BijakBerinvestasi di Jakarta, Rabu (22/11).
Baca Juga: Bos Binance Zhao Changpeng Mundur, Akui Langgar UU Anti Pencucian Uang
Momentum halving tahun 2020 lalu telah mengangkat harga Bitcoin (BTC) melejit ke level US$ 64.000 pada April 2021 yang mencapai level harga tertinggi sepanjang masa. Sumardi berujar, kenaikan harga Bitcoin tersebut bukan karena kondisi pasar juga sangat volatil di tahun pandemi, namun secara historis memang harga selalu naik.
Data historis menunjukkan setelah halving day tahun 2016, Bitcoin mencapai all-time high baru pada Desember 2017 dengan harga mencapai sekitar US$ 20.000. Sementara, ketika halving day pertama kali dilakukan pada 2012, harga bitcoin naik menjadi US$ 1.000 dari posisi US$ 12.
Adapun halving Bitcoin bertujuan untuk membatasi produksi bitcoin yang baru dengan cara memotong hadiah kepada penambang (miners) menjadi setengah dari nilai reward sebelumnya. Dengan melakukan halving maka dapat mengurangi laju penambahan koin baru dan menurunkan pasokan BTC yang beredar demi menjaga tingkat inflasi BTC.
Halving Bitcoin akan terjadi pada 2024 tepatnya pada bulan April. Halving dilakukan setiap 4 tahun sekali, sejak pertama kali dilakukan pada tahun 2012 silam.
Sumardi melihat, faktor berkurangnya transaksi karena industri kripto pernah melewati periode FOMO. Yakni, investor banyak yang ikut-ukutan saat pasar kripto tengah jatuh atau mengalami kondisi crypto winter.
Tahun lalu, kekhawatiran tentang potensi kebangkrutan Alameda dan FTX membuat investor enggan aktif di market. Aksi perusahaan kripto yaitu Binance yang melikuidasi seluruh asetnya token FTT telah menciptakan fenomena FUD sehingga membuat ketakutan investor untuk melakukan akumulasi, dan membuat harga-harga menjadi turun.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), volume perdagangan aset kripto di Indonesia merosot 224% secara tahunan (YoY) hingga mencapai Rp 94,4 triliun pada bulan September 2023. Tren penurunan ini telah berlanjut dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2021, volume perdagangan aset kripto mencapai puncaknya sebesar Rp 859,4 triliun. Namun, angka tersebut turun tajam sebesar 63% YoY menjadi Rp 306,4 triliun pada tahun 2022.
CEO Triv Gabriel Rey mengamati, perlakuan pajak yang tinggi merupakan salah satu penyebab telah berkurangnya aktivitas transaksi di pasar kripto tanah air. Dimana, saat ini pajak per transaksi aset kripto dipatok sebesar 0,21% yang lebih tinggi sekitar 300% dibandingkan seluruh negara Asia Tenggara.
Gabriel berharap besar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersedia menurunkan pajak transaksi agar platform pertukaran kripto lokal lebih kompetitif. Dengan demikian, dana nasabah tidak kabur lagi menuju exchange luar negeri dan ke depannya bisa menjadi next bull cycle.
“Saya rasa pemerintah harus benar-benar memperhatikan masalah pajak ini,” ucap Gabriel kepada Kontan.co.id, belum lama ini.
Baca Juga: Ajaib Kripto Prediksi Harga Bitcoin Berpotensi Lanjutkan Reli ke US$ 40.000
CEO Tokocrypto Yudhono Rawis menilai perlu adanya penyesuaian pajak transaksi aset kripto agar exchange domestik tidak kalah bersaing dengan exchange luar negeri. Hal ini bertujuan untuk mencegah risiko arus modal keluar.
Saat ini Tokocrypto bersama dengan Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) dan Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) terus aktif berdialog dengan semua pihak yang terlibat, termasuk Bappepti dan OJK sehingga menciptakan regulasi yang adil dan mendukung inovasi di industri aset kripto.
Kolaborasi tersebut bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, baik pelaku bisnis, investor, maupun regulator. Mengenai masalah perpajakan, pelaku usaha kripto sedang melakukan dialog dengan regulator secara bertahap.
Di sisi yang berbeda, Yudho melihat penerapan regulasi yang lebih kuat dan jelas dari OJK berpotensi untuk meningkatkan kepercayaan investor dalam perdagangan aset kripto di Indonesia semakin besar. Ini dapat membawa dampak positif dalam menarik lebih banyak partisipan dan modal ke dalam pasar kripto.
Selain itu, Indonesia dianggap memiliki potensi yang sangat besar dalam pertumbuhan industri kripto. Sebab, angka investor kripto berjumlah lebih dari 17 juta investor saat ini masih mewakili hanya sekitar 5%-6% dari total penduduk Indonesia.
“Indonesia memiliki populasi yang mayoritas terdiri dari generasi muda, dan ini menjadikan potensi pasar kripto yang besar ke depannya," tutur Yudho.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News