Reporter: Dina Farisah, Noor Muhammad Falih | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dua hari berturut-turut berimbas menekan pasar obligasi dan nilai tukar rupiah. Data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) memperlihatkan, dua hari terakhir, yield Surat Utang Negara (SUN) rata-rata naik 10 hingga 20 basis poin.
Yield seri FR0070 tenor 10 tahun misalnya, dua hari terakhir, naik 19 basis poin menjadi 7,7%, pada Selasa (28/4). Adapun kurs tengah rupiah di Bank Indonesia kemarin Rp 12.978 per dollar AS, melemah 0,28% dalam dua hari terakhir.
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Anil Kumar mengatakan, koreksi pasar saham cenderung berdampak negatif ke pasar obligasi. Menurutnya koreksi bursa saham akibat penurunan pendapatan emiten pada kuartal I-2015 juga mencerminkan pelemahan ekonomi Indonesia.
Para investor berharap, pembangunan infrastruktur berlangsung cepat. “Pemerintah kesulitan mencari investor, belum lagi masalah pembebasan lahan,” papar Anil. Penguatan ekonomi terhambat. Dampaknya, bisa meningkatkan risiko investasi.
Risiko investasi tercermin dari indikator credit default swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun, kemarin (28/4) naik ke 161,77, dari hari sebelumnya 159,76. Level tertinggi tahun ini pada 6 Januari di 177,66.
Risiko juga datang dari potensi melemahnya rupiah. Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menilai, pelemahan rupiah pada Senin (27/4) murni akibat koreksi bursa saham. Sementara pada Selasa (28/4) lebih dipengaruhi oleh aksi defensif investor jelang pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC).
Lana menebak, kurs rupiah di akhir semester I-2015
Rp 13.200, karena tingginya permintaan dollar guna membayar utang swasta dan pemerintah di Juni. Akhir tahun, rupiah menguat ke 12.800, karena realisasi pembangunan. Tresuri bank Eropa di Singapura sepakat dengan Lana. "Tapi, pertengahan tahun, rupiah ke Rp 12.700 dan di akhir tahun Rp 13.200," katanya.
Anil menambahkan, investor asing tak tertarik masuk karena risiko pelemahan rupiah. Sedang investor domestik menunggu sampai yield di 7,9% untuk SUN tenor 10 tahun yang bisa tercapai di kuartal II. Pasar SUN baru pulih kuartal IV-2015, asal inflasi stabil. Prediksinya inflasi tahunan di 5%.
Desmon Silitonga, analis obligasi PT Millenium Danatama Asset Management, melihat, pasar obligasi berpotensi tertekan hingga akhir Juni. Tapi tekanan tak berlanjut, sebab pemerintah memiliki instrumen bond stabilization framework.
Ini memungkinkan BI intervensi dengan membeli SUN di pasar sekunder saat yield obligasi tak wajar. Ia memprediksi, yield obligasi 10 tahun di semester I-2015 di 7,7%-7,8%. Sementara akhir tahun 7%-7,2% dengan asumsi nilai tukar di bawah Rp 13.000.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News