kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Terpukul virus corona, nikel jadi logam industri dengan kinerja paling jeblok


Sabtu, 04 Juli 2020 / 10:25 WIB
Terpukul virus corona, nikel jadi logam industri dengan kinerja paling jeblok


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi virus corona dan sempat berhentinya aktivitas ekonomi telah menekan kinerja komoditas industri logam mulia. Tercatat, sepanjang semester satu kemarin, seluruh komoditas logam industri mencatatkan kinerja negatif.

Kinerja logam industri kompak terpukul selama tiga bulan pertama. Selepas Maret, secara perlahan kinerja tembaga, timah, ataupun nikel mulai kembali membaik

Dari ketiga komoditas tersebut, tembaga menjadi komoditas logam industri yang mencatatkan kinerja terbaik selama enam bulan kemarin. 

Baca Juga: Nikel jadi komoditas logam industri yang paling terpukul akibat virus corona

Merujuk Bloomberg, mengawali tahun ini harga tembaga di London Metal Exchange berada di level US$ 6.174 per metrik ton. Sementara pada akhir semester I-2020 justru turun di level US$ 6.015 per metrik ton. Artinya, harga tembaga terkoreksi hingga 2,57%. 

Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan faktor yang menyebabkan harga tembaga tidak terkoreksi terlalu dalam adalah kembali melonjaknya permintaan terhadap tembaga. Hal ini seiring dengan kembali menggeliatnya produksi kendaraan listrik serta dibukanya lockdown di beberapa negara. 

“Dengan mulai kembali beroperasinya manufaktur di berbagai negara, bahkan di China rilis data manufakturnya mengalami peningkatan. Meski masih di bawah 50, indikasinya ke depan masih akan kembali mengalami peningkatan, sehingga harga tembaga pun ikut terkerek naik,” ujar Ibrahim kepada Kontan.co.id, Jumat (3/7).

Kondisi serupa juga dialami oleh timah yang mencatatkan kinerja tidak banyak berbeda dengan tembaga. 

Mengutip, Bloomberg, harga timah di London Metal Exchange berada di level US$ 17.175 per metrik ton. Lalu, pada akhir Juni kemarin berada di level US$ 16.722 per metrik ton. Dengan demikian, harga timah terkoreksi 2,64% sepanjang enam bulan kemarin. 

Ibrahim menjelaskan, kondisi fundamental timah tidak banyak berbeda dengan fundamental tembaga. Tertekan imbas dari pandemi virus corona, namun cukup terdongkrak oleh pelonggaran lockdown dan dibukanya kembali aktivitas ekonomi.

“Ditambah lagi, pada akhir semester I-2020, bank sentral AS menyatakan telah menyiapkan dana US$ 1,5 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Dengan adanya pembangunan tersebut, tentu nantinya permintaan akan timah akan semakin meningkat dan akhirnya mengangkat harga timah,” jelas Ibrahim.

Semenetara komoditas logam industri dengan kinerja paling buruk sepanjang semester I-2020 adalah nikel. Berdasarkan Bloomberg, harga nikel di London Metal Exchange berada di level US$ 14.025 per metrik ton pada akhir tahun 2019. Lalu, pada akhir semester I-2020 kemarin turun ke level US$ 12.805 per metrik ton. Dengan demikian, nikel tercatat mengalami penurunan sebesar 8,70%.

Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono mengungkapkan sebenarnya fundamental nikel memang sudah kurang baik ketika mengawali tahun ini imbas dari perang dagang China dan Amerika Serikat. Ditambah lagi kemudian adanya persebaran virus corona semakin menekan harga nikel pada tahun ini.

“Saat itu nikel sempat terjun ke level US$ 10.800-an per metrik ton imbas pandemi virus corona. Namun di satu sisi, pandemi yang juga membuat supply dan demand sama-sama melemah, lalu didukung sentimen positif dibukanya lockdown, sepertinya berhasil membuat harga nikel kembali rebound belakangan ini,” ungkap Wahyu.

Baca Juga: Prospek lebih cerah, timah akan catatkan kinerja yang lebih baik pada semester kedua

Wahyu menambahkan, beberapa kabar terbaru juga menjadi angin segar bagi komoditas nikel. Mulai dari, Vale selaku salah satu produsen nikel terbesar yang memangkas target produksinya dari 200.000 - 210.000 menjadi hanya 180.000 - 195.000 ton, hingga Sumitomo dari Jepang dan produsen nikel Filipina yang menutup operasional sebagian tambangnya.

“Di Indonesia, upaya asosiasi penambang nikel yang meminta Indonesia memperbolehkan ekspor bijih nikel juga ditolak. Kombinasi tersebut tentu semakin menekan supply nikel di tengah rendahnya permintaan, menjadikan katalis positif bagi harga nikel belakangan ini,” pungkas Wahyu.

Para analis sependapat bahwa prospek komoditas logam industri ke depannya masih cukup fluktuatif. Mengingat ancaman gelombang kedua virus corona masih membayangi meski aktivitas ekonomi mulai kembali berjalan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×