Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dilanda aksi profit taking di awal perdagangan Senin (2/11). Mengutip data RTI pukul 09.10 WIB, indeks terkoreksi 0,73% ke level 5.091,744.
Tercatat 214 saham bergerak turun, 87 saham naik, dan 165 saham stagnan. Dengan total volume perdagangan 1,5 miliar saham dan total nilai transaksi capai Rp 1,62 triliun.
Sembilan dari 10 indeks sektoral menyeret IHSG. Sektor konstruksi paling dalam penurunannya 1,83%. Sementara hanya sektor tambang yang bergerak naik 0,81%.
Pagi ini, investor asing mengambil posisi jual. Di pasar reguler, net sell asing Rp 210,887 miliar dan Rp 212,939 miliar keseluruhan market.
Baca Juga: Rupiah dibuka melemah 0,17% ke Rp 14.650 per dolar AS pada Senin (2/11)
Analis MNC Sekuritas Edwin Sebayang menuturkan, awal pekan ini IHSG diperkirakan akan diterjang aksi profit taking menyusul selama Bursa Indonesia libur. Setelah sebelumnya IHSG menguat di minggu keempat sebesar 0,56% diiringi dengan net sell investor asing sebesar Rp 190,79 miliar
Pasar dibayangi ketidakpastian mengenai paket stimulus baru corona, meningkatnya jumlah korban terkena Covid-19, serta ketidakpastian mengenai siapa pemenang Pilpres AS nantinya.
CEO Sucor Sekuritas Indonesia Bernadus Wijaya menjelaskan, IHSG akan cenderung tertekan dengan support terdekat di level 5.000 di awal bulan November 2020. Jika IHSG melampaui level ini, maka IHSG akan menguji support berikutnya di 4.800.
Penurunan IHSG itu dikarenakan ketidakpastian pemilihan umum (pemilu) presiden AS yang akan diselenggarakan pada 3 November 2020.
Baca Juga: Sideways IHSG diprediksi berlanjut, simak rekomendasi saham Samuel Sekuritas hari ini
Lebih lanjut Bernadus menjelaskan, jika Joe Bidden terpilih, maka hasil pemilu AS akan menjadi sentimen pemberat bagi pasar. Kebijakannya yang pro-lockdown dan peningkatan corporate tax cenderung menimbulkan sentimen negatif jangka pendek.
Sementara itu, berkaca dari pemilu AS 2016, IHSG langsung terkoreksi lebih dari 4%. Pada saat itu, Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS, padahal pasar lebih mendambakan Hillary Clinton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News