Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
Mayoritas pelanggannya adalah perkebunan sawit yang berada di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan. Akan tetapi, SAMF juga memiliki pelanggan yang menanam komoditas lain, seperti tebu, kopi, dan karet.
Strategi yang kedua adalah dengan mencari alternatif bahan baku dari kawasan atau negara yang tidak terlalu terdampak Covid-19. "Contohnya adalah Laos dan Kanada," ujar dia. Dengan begitu, SAMF dapat tetap memenuhi permintaan yang masih bergulir di tengah pandemi.
Sebagai informasi, perusahaan yang didirikan di Sidoarjo pada tahun 1998 ini dirancang untuk menghasilkan pupuk yang memiliki keunggulan dibanding produk pupuk yang lain. SAMF membangun jaringan dengan para ahli pertanian/perkebunan dari seluruh Indonesia untuk terus bisa menghasilkan pupuk yang bermutu tinggi dan disesuaikan dengan spesifikasi komoditas tanaman.
Baca Juga: Ada 28 emiten baru sepanjang 2020, berikut 10 emiten yang sahamnya naik tertinggi
Produk pertama pupuk briket yang diproduksi adalah hasil kerja sama SAMF dengan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Pupuk ini diberi merek dagang HALEI. Satu tahun kemudian, lahir produk baru dengan nama PUKALET yang ditujukan untuk tanaman karet. Ini adalah hasil kerja sama dengan Pusat Penelitian Karet (PPK) Indonesia.
Pada 2003, SAMF meluncurkan produk PALMO khusus tanaman kelapa sawit, hasil kerja sama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Selanjutnya, pada 2005, SAMF bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao untuk melepas produk baru KOKA, pupuk yang diformulasi untuk kopi dan kakao.
Selain berfokus pada pelanggan dengan rekam jejak yang baik dan mencari alternatif bahan baku dari wilayah lain, SAMF juga mengupayakan pelanggan membayar sesuai jadwal. "Kami akan lebih intensif lagi dalam melakukan penagihan kepada para pelanggan," ucap Dadang.
Baca Juga: Jadi emiten pendatang baru, SAMF bakal bagi dividen Rp 10,30 per saham
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News