Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyaknya tekanan yang terjadi pada kondisi internal Inggris, membuat penguatan poundsterling akhir pekan lalu tak bakal bertahan lama. Bahkan, meskipun covid-19 berakhir, poundsterling masih harus dihadapkan pada tantangan ekonomi yang kini tengah dalam masa transisi usai lepas dari Zona Euro.
Analis HFX International Ady Phangestu mengungkapkan, pergerakan dolar AS pekan lalu cenderung berada di bawah tekanan akibat rencana Presiden AS Donald Trump untuk menggerakkan kembali roda perekonomiannya. Meskipun begitu, greenback sempat menguat saat Bank Sentral AS (The Fed) memutuskan untuk memangkas separuh pembelian obligasi hariannya.
Baca Juga: Sempat menghijau, EUR/USD dinilai masih dalam tren bearish
"Alhasil, saham AS sempat naik dan sukses menyentuh level tertinggi, meskipun treasury AS berbanding terbalik dan semakin dekat dengan posisi terendah," jelas Ady kepada Kontan.co.id, Minggu (19/4).
Di sisi lain, poundsterling bergerak lebih positif setelah mendapat kejelasan dari Menteri Luar Negeri Dominic Raab yang menyatakan bahwa Negeri Ratu Elisabeth tersebut akan menunda pembukaan lockdown, bahkan memperpanjangnya hingga tiga minggu lagi.
Sementara itu, muncul kekecewaan di kalangan publik bahwa Inggris belum dalam posisi untuk membuka beberapa bagian ekonomi seperti negara lain di daratan Eropa. Perdana Menteri James Slack mengklarifikasi pada pekan lalu bahwa saat ini masyarakat lebih difokuskan untuk tetap di rumah.
"Pasangan GBP/USD diperdagangkan pada rentang 1,2400 hingga 1,2500 pada pekan lalu, dan ditutup di bawah level psikologis 1,2500. Ranging range pada pasangan ini sudah berlangsung dua hari dan tetap bertahan di atas harga 1,2400," ujarnya.
Baca Juga: Bank akan makin rajin simpan dana di SBN, ini pemicunya
Apalagi, secara fundamental Ady menilai kondisi Inggris tengah memburuk di mana ekonomi diperkirakan menyusut 35% sekaligus bakal jadi kontraksi terbesar sejak 1709.
Sementara itu, penjualan ritel Inggris dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan tajam sejak awal 2019 dan kemungkinan akan menuju ke pertumbuhan negatif. Dalam satu dekade, pertumbuhan belanja konsumen mulai mendatar sejak 2018 dan mulai turun kembali ke bawah.
Pemerintah Inggris terpaksa harus meminjam lebih jauh untuk mengurangi dampak krisis dan hal ini mungkin memberikan dorongan jangka pendek untuk pengeluaran konsumen.
"Katakanlah epidemi berlalu dalam beberapa bulan ke depan, masalah Brexit tetap akan muncul kembali menjadi topik utama yang panas, dan perundingan kesepakatan membutuhkan waktu panjang dengan waktu transisi yang semakin pendek, sehingga akan menekan poundsterling," paparnya.
Baca Juga: Di tengah pandemi, biaya dana perbankan malah diproyeksi menurun
Untuk itu, pasangan GBP/USD ke depan diprediksi masih akan mengalami penurunan. Ditambah lagi, secara teknikal pasangan kurs tersebut masih bergerak dalam tren bearish di area resistance 1,2500 dan 1,2575, sedangkan untuk level support berada di kisaran 1,2425, 1,2375 dan 1,2300.
Ady merekomendasikan sell untuk pasangan GBP/USD lantaran harga masih berada di bawah pergerakan moving average (MA)50, MA120 dan MA200. Selain itu, RSI bergerak di atas level 50 yang mengindikasikan adanya keraguan pasar. Sementara indikator MACD di atas level netral, dengan histogram tipis yang menandakan minat pasar terhadap poundsterling tengah.
Mengutip Bloomberg, pada perdagangan Jumat (19/4) pasangan GBP/USD ditutup menguat sebanyak 0,34% di level 1,2499.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News