Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar obligasi domestik tampak menarik menuju tren pemangkasan suku bunga global. Suku bunga dipangkas dapat memberikan potensi investasi jangka panjang yang menarik bagi pasar obligasi.
Head of Fixed Income Research BNI Sekuritas Amir Dalimunthe memandang, imbal hasil obligasi pemerintah saat ini menawarkan pengembalian yang relatif menarik dan memiliki prospek masa depan yang positif. Hal itu utamanya karena Indonesia memiliki kredit rating yang stabil dan imbal hasil kompetitif.
Amir menjelaskan, saat ini kredit rating Indonesia masih cukup baik yang berada pada peringkat BBB dari tiga lembaga pemeringkat kredit dunia. Peringkat kredit ini dipandang faktor krusial bagi investor asing untuk memberikan kenyamanan berinvestasi.
Adapun Credit Default Swap (CDS) 5 tahun Indonesia yang relatif stabil menunjukkan investor tetap percaya diri dengan kelayakan kredit Indonesia. Sehingga, kondisi ini dapat menghasilkan biaya pinjaman yang lebih rendah dan harga obligasi yang lebih tinggi.
Baca Juga: BNI Sekuritas: Pasar Obligasi Indonesia Tetap Jadi Destinasi Favorit Investasi Asing
Selain itu, lanjut Amir, Indonesia menawarkan imbal hasil obligasi yang kompetitif dibandingkan dengan negara berkembang lainnya (peers). Saat ini, mungkin hanya India dan Filipina yang setara dalam tingkat imbal hasil.
Pasar obligasi Indonesia sendiri dipandang lebih unggul daripada India dan Filipina karena pertimbangan utama investor asing adalah real yield differential yaitu yield yang sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi, kemudian dibandingkan dengan real yield Amerika Serikat (AS).
Adapun per 18 Oktober 2024, Local Currency Yield Curve (LCYC) atau kurva imbal hasil mata uang lokal untuk tenor 10 tahun Filipina di 5,74%, Indonesia di level 6.66%, sedangkan India di level 6.83%. Dari sisi tingkat inflasi, Filipina dan Indonesia tidak jauh berbeda masing-masing tingkat inflasi terakhhir di 1,90% dan 1,84%, sedangkan India inflasinya masih bergejolak yang berada di level 5,49%.
Berdasarkan LCYC dikurangi tingkat inflasi tersebut, maka diperoleh Local Currency Real Yield. Dengan demikian, praktis Indonesia memiliki LC Real Yield paling tinggi yakni 4,82% dibandingkan India maupun Filipina yang masing-masing 1,34% dan 3,84%.
Baca Juga: Imbal Hasil Obligasi Indonesia Cukup Kompetitif, Saingannya India dan Filipina
Kemudian, apabila dibandingkan dengan pasar obligasi AS, Indonesia masih menawarkan imbal hasil rill yang cukup menarik. Dengan posisi real yield Amerika saat ini di 1,68% dan real yield local currency Indonesia sebesar 4,81%, maka real yield differential antara keduanya sebesar 3,14%.
"Kalau kita lihat sebetulnya pasar obligasi yang masih menarik yakni India, Indonesia dan Filipina. Jadi ketiga peers ini mungkin masih akan menarik potensi inflow asing," jelas Amir dalam Media Day BNI Sekuritas, Selasa (22/10).
Amir melihat, pasar obligasi tanah air juga masih akan menawarkan tingkat pengembalian menarik di tahun 2025. Jika kondisi pasar terus membaik, mungkin akan ada lebih banyak ruang bagi bank sentral untuk menurunkan suku bunga, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga obligasi.
BNI Sekuritas memproyeksi kinerja pasar obligasi domestik yang tercermin dari Indonesia Composite Bond Index (ICBI) akan mencetak return sekitar 6,6% di tahun 2024. Optimisme ini berdasarkan adanya asumsi yield SUN 10 Tahun bakal turun ke level 6,4%, tidak jauh berbeda daripada level tahun lalu sebesar 6,5%.
Baca Juga: Bursa Jepang Selasa (22/10): Indeks Nikkei Ditutup Memerah Akibat Kekhawatiran Pemilu
Di tahun 2025, kemungkinan return dari indeks pasar obligasi (ICBI) bakal lebih besar lagi menjadi 8,8%. Hal itu mengingat potensi pemangkasan suku bunga acuan yang bisa membawa yield obligasi turun (menguat) ke level 6,0%.
Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Syuhada Arief menilai, pasar finansial Indonesia bakal diuntungkan oleh siklus pemangkasan suku bunga AS dan domestik. Ruang pelonggaran moneter diperkirakan masih cukup besar, di tengah peralihan menuju kebijakan pro pertumbuhan.
Potensi pemangkasan suku bunga The Fed diproyeksi masih akan terjadi di kuartal keempat 2024. Namun, besaran pemangkasan suku bunga ke depannya akan tergantung kondisi dan indikator ekonomi yang terjadi.
Arief mencermati, pemangkasan BI Rate kemungkinan masih akan berlanjut di kuartal terakhir tahun ini, sebagai antisipasi dalam menopang pertumbuhan di tengah risiko perlambatan ekonomi global. Inflasi domestik yang rendah dan risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi global dapat menjadi faktor pemicu bagi BI untuk lebih cepat memangkas suku bunga.
Baca Juga: Bursa Saham Global Merosot, Imbal Hasil Naik di Tengah Ekspektasi Suku Bunga Tinggi
Bank Indonesia (BI) sendiri telah menyatakan fokus kebijakan yang beralih dari pro-stability menjadi lebih seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan. Ini mengindikasikan potensi kebijakan ke depan dapat menjadi lebih pro-growth.
Secara historis dalam siklus pemangkasan suku bunga, imbal hasil obligasi cenderung turun selaras dengan besaran pemangkasan yang terjadi. Saat ini, tingkat imbal hasil SBN 10 tahun masih pada level atraktif, di mana selisih imbal hasil SBN 10 tahun – US Treasury 10 tahun di kisaran 280 bps, di atas rata-rata 250 bps.
Oleh karena itu, Arief menilai bahwa saat ini momentum pas untuk berinvestasi di aset obligasi. Pemangkasan BI Rate ke depannya memberi potensi investasi jangka panjang yang menarik bagi pasar obligasi.
"Pemangkasan BI Rate yang masih terbuka memberi peluang bagi investor untuk mengunci imbal hasil di level menarik saat ini, sebelum pemangkasan suku bunga lebih lanjut," jelas Arief dalam siaran pers, Senin (21/10).
Menurut perkiraan Manulife Aset, imbal hasil SUN 10 tahun mungkin bakal berada di kisaran 6,00%–6,25% hingga akhir tahun 2024. Sementara itu, stabilitas inflasi, nilai tukar rupiah, arah kebijakan fiskal domestik, serta outlook soft landing AS menjadi faktor risiko yang perlu diantisipasi efeknya bagi pasar obligasi domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News