Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Obligasi masih menarik dicermati sebagai salah satu instrumen investasi. Obligasi korporasi bisa menjadi pilihan meskipun memiliki tingkat risiko lebih tinggi.
Senior Vice President Head of Retail Product Research & Distribution Division Henan Putihrai (HP) Asset Management Reza Fahmi Riawan mengatakan, obligasi masih menarik disebabkan oleh kenaikan yield atau tingkat imbal hasil. Sentimen di pasar masih didasari oleh kenaikan tingkat suku bunga secara global yang disebabkan oleh kenaikan inflasi.
"The Fed masih dalam stance hawkish sampai akhir tahun dan masih berpotensi menaikkan Fed Rate, begitu juga untuk pasar domestik dimana Bank Indonesia (BI) memperkirakan headline inflasi akan berada di atas 6% dan inflasi inti berada pada level 4,6% di akhir tahun," ucap Reza kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).
Baca Juga: Tiga Indeks Utama Wall Street Melonjak Lebih dari 2% pada Selasa (4/10)
Nah, dengan adanya ekspektasi suku bunga the Fed naik lagi, otomatis yield obligasi akan ikut naik. Reza bilang, imbal hasil obligasi pemerintah bisa memberikan di 7%-7,5% dan obligasi korporasi 6%-9%.
Secara kinerja, obligasi korporasi mencatat rata-rata kinerja tertinggi yaitu 9,7% per tahun. Kinerja obligasi korporasi ini mengalahkan kinerja obligasi pemerintah yakni Surat Berharga Negara (SBN) yang rata-rata 5,9% per tahun dan lebih seksi dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 5,4% per tahun.
"Adapun sepanjang tahun 2022 berjalan (year to date), obligasi korporasi mencatatkan kinerja 4,52%," ungkapnya.
Baca Juga: Pemerintah Mengerem Penerbitan SBN Tahun Ini
Berbeda halnya dengan kondisi ekonomi pada masa Covid ketika ada potensi gagal bayar yang lebih tinggi, saat ini risiko obligasi korporasi menciut karena ada kegiatan usaha dan ekonomi terus berjalan. Risiko yang dihadapi saat ini lebih pada risiko pasar atau potensi kerugian (capital loss) bagi investor akibat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keseluruhan dari pasar keuangan, antara lain perubahan suku bunga, perubahan fundamental ekonomi, dan kondisi politik yang tidak stabil.
Reza menyarankan investor untuk mengurangi risiko fluktuasi atas perubahan tingkat suku bunga. Pilihan terbaik untuk memitigasi fluktuasi tersebut adalah dengan memperpendek durasi yakni switching dari tenor panjang ke tenor pendek.
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menambahkan, bank sentral Amerika Serikat setidaknya bakal menaikkan suku bunga satu kali lagi sebelum tutup tahun 2022. Hal tersebut mengingat inflasi di AS masih lebih tinggi daripada suku bunganya.
Baca Juga: Dana Asing di SUN Berkurang, Ini Efeknya
Dampak suku bunga naik untuk meredam inflasi diproyeksikan baru terlihat paling cepat akhir tahun ini atau tahun depan. The Fed diprediksi baru akan mengerem suku bunga di tahun depan.
Wawan menjelaskan, rata-rata yield Surat Utang Negara (SUN) sekitar 7%. Peringkat obligasi single A sudah sekitar 8%-9%. Obligasi dengan rating BBB bahkan sudah double digit di atas 10%.
"Jadi memang secara yield rata-rata sudah 2 atau 3 kali di atas deposito," papar Wawan.
Adapun harga SUN tengah turun karena suku bunga naik. Namun semuanya kembali lagi pada time frame obligasi. Sepanjang time frame sekitar 2-3 tahun, maka dinilai tidak masalah.
Baca Juga: OJK Berharap Investor Pasar Modal Capai 10 Juta SID di Akhir 2022
"Untuk kebutuhan dalam waktu dekat maka lebih baik pegang obligasi SUN yang jangka pendek sehingga lebih aman dari penurunan harga. Lebih aman karena turunnya harga lebih kecil dibandingkan jangka panjang," imbuh Wawan.
Wawan mengungkapkan, baik obligasi pemerintah ataupun obligasi yang diterbitkan korporasi punya risiko tersendiri. SUN lebih aman dari sisi gagal bayar karena ketentuannya diatur dalam Undang-undang. Namun, dari sisi likuiditas bakal tercipta volatilitas harga. Sebab, SUN ramai diperdagangkan dengan banyak dana asing keluar masuk.
Sedangkan, risiko obligasi korporasi adalah kasus gagal bayar jika emiten tidak sanggup bayar sehingga menyeret ke proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Namun, kejadian tersebut minim ditemukan karena pemulihan ekonomi yang berdampak pada arus kas positif emiten.
Dari sisi harga, obligasi korporasi bisa lebih stabil karena jarang diperdagangkan. Kurangnya likuiditas obligasi korporasi ini lebih cocok untuk investor yang berniat memegang obligasi hingga jatuh tempo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News