Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Handoyo .
Gandeng China
Menurut Arie, larangan ore nikel tak berdampak serius bagi ANTM sebab penjualan dalam ore nikel hanya menyumbang 7% dari total pendapatan. Hingga semester I tahun ini, penjualan unaudited ANTM tumbuh 22% menjadi Rp 14,43 triliun.
Dimana kontribusi terbesar dari emas, perak dan jasa pemurnian logam mulia sebesar 67% setara Rp 9,72 triliun. Sedangkan feronikel dan nikel berkontribusi 29% setara Rp 4,07 triliun.
Karena itu ke depan, ANTM akan mengembangkan smelter nikel. Perusahaan ini bahkan telah meneken kerjasama dengan dua perusahaan asal China. Pertama, kerjasama dengan Shandong Xinhai untuk menggarap nikel di Pulau Gag, Papua.
Baca Juga: Harga emas Antam kembali naik ke Rp 756.000
Arie menyebut, hasil dari smelter nantinya adalah 40.000 ton feronikel dan 500.000 ton stainless steel pada tahap awal. "Nantinya lokasi smelter ada di Sorong atau Halmahera," terang dia, Rabu (21/8). Di sini, ANTM akan memiliki mayoritas saham atau lebih dari 51%. Nilai investasi US$ 1,2 miliar.
Kedua, ANTM menjalin kerjasama dengan Huayou Cobalt Co Ltd untuk memproduksi bahan baku baterai mobil listrik dan motor. Nilai investasi proyek ini US$ 6 miliar. Arie menyebut proyek ini, Inalum sebagai induk akan ikut mendanai. "Dananya bisa dari obligasi, pinjaman bank dan shareholder," terang dia.
Ekspansi ini tak akan menggunakan belanja modal tahun ini. Tahun ini, perusahaan fokus menggarap Chemical Grade Alumina (CGA) yang akan ground breaking awal September 2019.
Baca Juga: Duh, Larangan Ekspor Nikel Masih Menekan Harga Saham ANTM dan INCO
Nilai investasi proyek di Menpawah, Kalimantan Barat ini US$ 900 juta. Hingga semester I-2019, perusahaan ini telah menggunakan belanja modal Rp 685,14 miliar dari total belanja modal Rp 3,39 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News