Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex berharap kegiatan impor produk tekstil ilegal bisa ditertibkan. Sekretaris Perusahaan Sritex Welly Salam mengonfirmasi, penjualan domestik kain dan pakaian jadi perusahaan turut terdampak oleh maraknya aksi ilegal tersebut.
“Tentunya semua kan ada prosedurnya, (harapannya) ya prosedurnya diikuti, tentunya kami juga harapkan sih masyarakat indonesia ini lebih cinta produk indonesia,” kata Wellt saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (27/3).
Sedikit informasi, berdasarkan data BI, BPS, dan APSyFI, yang diolah Indotexile, jumlah impor produk tekstil ilegal mencapai 320.000 ton pada 2022 atau naik dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar 285.000 ton.
Baca Juga: Ada Nama Pejabat Bank QNB di Jajaran Manajemen Baru Sritex (SRIL)
Impor produk tekstil ilegal pada 2022 setara dengan 16.000 kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.
Kendati melakukan penjualan ekspor, Sritex juga melakukan penjualan domestik. Mengintip laporan keuangan interim perusahaan, total penjualan benang, kain jadi, pakaian jadi, dan kain mentah Sritex mencapai US$ 182,43 juta di sepanjang Januari-September 2022. Jumlah itu setara 38,47% dari total penjualan konsolidasi Sritex pada periode tersebut.
Penjualan domestik Sritex menyasar segmen pasar yang beragam, termasuk di antaranya segmen UMKM dan pabrik. Itulah sebabnya penjualan domestik Sritex turut terdampak oleh impor produk tekstil ilegal.
“Namanya ilegal prosedur pajaknya dan lain-lain kan tidak sesuai, pastinya mengganggu tidak hanya kepada kami,” kata Wellly.
Menurut Welly, Sritex sudah menyusun sejumlah strategi untuk menjaga kinerja. Salah satu di antaranya merebut kembali ceruk pasar domestik seturut penertiban impor produk tekstil ilegal.
Selain itu, Sritex juga tengah menggodok rencana untuk menjajaki target-target pasar anyar di luar Eropa.
Baca Juga: Kredit ke Sektor Tekstil Masuk Perhatian Khusus, Perbankan Siapkan Pencadangan
Wilayah yang dibidik antara lain Asia dan Amerika Selatan. Pertimbangannya ialah kondusivitas wilayah-wilayah tersebut yang diyakini lebih stabil ketimbang Eropa.
“Asia kan kalau kita lihat biasanya lebih tahan terhadap gangguan-gangguan politik. Zona Asia kan belum ada perang, lebih kondusif kondisinya,” kata Welly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News