Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Sepertinya, ruang gerak industri otomotif akan kurang nyaman tahun ini. Seperti yang dikeluhkan PT Astra Otoparts Tbk (AUTO). Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi pembatas gerak emiten onderdil otomotif ini.
Pertama, soal level baru rupiah yang sudah menyentuh level barunya seperti saat ini. Lalu, ada juga soal upah minimum dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). "Tiga hal itu memang jadi beban pokok terbesar bagi kami," imbuh Robby Sani, Direktur AUTO kepada KONTAN, (29/1).
Namun, jika dibandingkan dengan upah minimum dan kenaikan TDL, level baru rupiah menjadi beban yang paling besar. Soalnya, dari seluruh lini bisnis yang dijalankan AUTO, sekitar 40%-70% bahan bakunya harus diimpor.
Seperti kebanyakan emiten lainnya, kondisi seperti ini bakal direspons manajemen dengan meningkatkan kapasitas produksinya hingga mendekati level full capacity. Cara seperti ini mampu mendongkrak penjualan, tapi tetap saja lantaran beban pokok yang meningkat maka bottom line perusahaan tetap akan tergerus.
Jadi, cara yang paling logis untuk mengkompensasi beban adalah dengan meningkatkan harga. Namun, terkait hal ini Robby masih enggan merinci seberapa besar kenaikan harga produknya yang bakal dilaksanakan untuk tahun ini.
Tapi, gambaran sederhananya adalah, katakanlah posisi rupiah sudah melemah 25% terhadap dolar AS. Lalu, anggaplah rata-rata impor bahan bakunya sebesar 50% dari seluruh bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi.
Jika 25% dikalikan dengan 50% maka hasilnya adalah 12,5%. Dengan kata lain, setiap pelemahan rupiah sebesar 25% maka beban impor bahan baku emiten yang bersangkutan naik sekitar 12,5%.
Nah, besaran itulah yang wajib dikompensasi dengan kenaikan harga. Namun, dalam kasus ini kenaikan harga tidak mutlak dieksekusi oleh AUTO. Mengingat AUTO memiliki banyak klien sebelum menjual produknya ke end user, maka kenaikan harga akibat kenaikan beban produksi juga ditanggung secara merata ke klien AUTO lainnya.
Robby menambahkan, sebenarnya manajemen memiliki kebijakan menaikkan harga jual secara periodik, ada yang setiap tiga bulan, enam bulan, atau periode lainnya. "Tapi, rupiah sekarang naiknya mendadak dan drastis juga, jadi kenaikan harga jual secara darurat memang terpaksa dilakukan," pungkas Robby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News