Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) saat ini sedang berada di atas RM 4.000 per ton. Untuk pengiriman Juli 2021, merujuk pada data bursa Malaysia, berada di angka RM 4.061 per ton.
Akan tetapi, tren kenaikan yang sedang dialami oleh CPO ini masih mengalami beberapa tantangan di tahun ini. Analis Samuel Sekuritas Yosua Zishoki dalam risetnya yang dirilis pada 29 April mengungkapkan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh industri CPO.
Yang pertama adalah perubahan tarif bea masuk dan keluar, ekspor minyak sawit dari Indonesia saat ini dikenakan bea keluar guna mendukung program biodiesel dan peremajaan tanaman rakyat. Selain itu, impor sawit juga dikenakan bea masuk di beberapa negara.
Baca Juga: Analis prediksi kinerja emiten bakal melanjutkan pemulihan hingga akhir tahun
Yosua melihat bahwa jika terjadi kenaikan pada bea keluar yang dikenakan pemerintah Indonesia, dan bea masuk yang dikenakan negara-negara tujuan ekspor, harga minyak sawit dari Indonesia akan menjadi kurang kompetitif, dibandingkan dengan negara lain.
Kedua, ketergantungan dengan harga minyak nabati lain, Dalam setahun terakhir, harga CPO mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Jika hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat global, permintaan untuk CPO akan menurun cukup drastis.
Disamping itu, menurutnya sangat mudah bagi masyarakat beralih dari satu jenis minyak nabati ke jenis lainnya. Maka, fluktuasi harga edible oil seperti minyak kedelai (SBO) dan rapeseed oil juga mempengaruhi harga CPO.
“Hal lain yang dapat mempengaruhi harga CPO adalah fluktuasi harga minyak mentah, sebab fluktuasi harga minyak mentah dapat mempengaruhi permintaan biofuel,” kata Yosua dalam risetnya.
Baca Juga: Harga emas terkoreksi tipis pada awal perdagangan Selasa (4/5)
Ketiga, pembatasan dan besarnya biaya logistik di masa pandemi Covid-19, menurutnya dengan pandemi yang masih berlangsung, ekspor sawit akan menghadapi berbagai protokol kesehatan dan pembatasan dari negara tujuan ekspor, sehingga sangat mungkin akan menghambat jalur distribusi serta meningkatkan biaya logistik.
Keempat, kampanye hitam mengenai produk-produk berbasis sawit, beberapa kampanye seperti deforestasi, penyalahgunaan hutan yang masif, pengurangan habitat orang utan, berkurangnya oksigen yang dihasilkan hutan di Indonesia, penyerapan air yang tinggi dari pohon sawit, serta masalah kesehatan yang dapat disebabkan oleh konsumsi minyak sawit.
Semuanya dapat menurunkan konsumsi sawit di sejumlah negara.
Baca Juga: Harga CPO naik, simak rekomendasi analis untuk saham-saham emiten CPO
Kelima, sulitnya masuk ke negara-negara Eropa, Uni Eropa, yang merupakan salah satu konsumen minyak sawit terbesar, menerapkan Renewable Energy Directive (RED) II yang akan mengurangi penggunaan biodiesel berbasis sawit secara bertahap hingga 0% pada 2030.
Selain itu, otoritas keamanan makanan di Eropa, EFSA, menetapkan bahwa kandungan maksimal 3-MCPDE (satu jenis karsinogen) yang diperbolehkan di produk-produk yang masuk ke pasar Uni Eropa sebesar 2.5 ppm.
“Aturan ini akan mempersulit minyak goreng sawit untuk masuk ke pasar Uni Eropa, karena kandungan 3-MCPDE dalam sawit biasanya di atas 3 ppm,” ujar Yosua.
Selanjutnya: Pendapatan Indika Energy (INDY) tertekan pada kuartal I, ini penyebabnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News