kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simak Rekomendasi Saham Sawit dari Analis RHB dan Bahana Sekuritas


Selasa, 22 Maret 2022 / 07:13 WIB
Simak Rekomendasi Saham Sawit dari Analis RHB dan Bahana Sekuritas
ILUSTRASI. Perkebunan kelapa sawit PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunan dari maksimal US$ 375 per ton menjadi US$ 675 per ton.

Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan batas atas pungutan ekspor maksimal dari semula US$ 1.000 per ton menjadi US$ 1.500 per ton. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 23/PMK.05/2022.

Kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) dan kewajiban harga domestik atau domestic price obligation (DPO) akan dihapus guna mendukung pajak dan retribusi ekspor yang lebih tinggi, sejalan dengan harga global yang lebih tinggi.

Dalam laporan sektor perkebunan regional, Jumat (18/3), analis Maybank Investment Bank Ong Chee Ting menilai, rencana baru ini menjadi solusi yang lebih baik untuk mengatasi kesediaan pasokan daripada menggunakan skema DMO dan DPO, mengingat sifat industri yang terfragmentasi.

Baca Juga: Petani Minta Program B30 Diturunkan Jadi B20 untuk Atasi Kelangkaan Minyak Goreng

“Kami meyakini pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO untuk membantu mendanai subsidi minyak goreng yang sangat dibutuhkan,” tulis Ong Chee Ting, Jumat (18/3).

Menurut laporan media, pemerintah Indonesia mengalokasikan Rp 7,28 triliun atau sekitar US$ 500 juta dari pungutan ekspor untuk menyubsidi minyak goreng curah dan tidak bermerek.

Setiap bulan, sekitar 202 juta liter minyak goreng akan disubsidi selama 6 bulan untuk menjaga harga berada di atau di bawah level Rp 14.000 per liter.

Nilai subsidi diperkirakan Rp 6.398 per liter, jauh lebih tinggi dari perkiraan awal Maybank. Ini kemungkinan untuk menutupi biaya distribusi ke daerah-daerah terpencil di seluruh negeri, dan akan ditinjau setiap dua minggu.

Namun, jika rencana kenaikan pajak tersebut lolos, laba bersih (net receipt) teoritis pekebun akan lebih rendah jika harga CPO berada di atas US$ 1.000 per ton.

Sebagai ilustrasi, pada 16 Maret 2022 misalnya, harga CPO di Bursa Derivative Malaysia sebesar MYR 6.899 per ton atau US$ 1.647 per ton.

Pada harga ini, pajak ekspor baru akan dimaksimalkan pada US$ 675 per ton, yang berarti penerimaan bersih hanya US$ 972 per ton yang dihasilkan dari US$ 1.647 dikurangi US$ 675.

Analis Bahana Sekuritas Muhammad Wafi menilai, sebenarnya kebijakan menaikkan pajak ekspor ini tidak lebih baik dari kebijakan DMO dan DPO. Hanya saja, kebijakan ini lebih bisa dikontrol karena sudah diterapkan sebelumnya.

“Emiten biasanya bisa passed on (meneruskan) tarif ke pembeli. Tetapi emiten yang mayoritas ekspor harus bersaing harga dengan eksportir dari Malaysia, terang Wafi kepada Kontan.co.id, Senin (21/3).

Analis RHB Sekuritas Hoe Lee Leng menilai, kebijakan ini akan berdampak sedikit negatif bagi pekebun sawit Indonesia. Berdasarkan kisaran pajak baru, harga realisasi bersih untuk pekebun akan sedikit negatif, berkisar antara -1 hingga -5%, jika dibandingkan antara pungutan pajak saat ini dengan pungutan pajak lama ditambah dampak DMO 30%.

Baca Juga: Pemerintah Janjikan Pasokan Minyak Goreng Curah 14.000 Ton Per Hari

Namun, pekebun Indonesia dengan bisnis hilir seharusnya terdampak lebih minim, karena mereka dapat membeli bahan baku dengan harga lebih rendah, sementara mendapat manfaat dari tarif pajak yang lebih rendah untuk produk olahan.

Dari sisi harga, Wafi menilai tetap ada katalis yang mendukung harga CPO tetap tinggi. Sebab, harga jual dari sisi supply akan tetap tinggi karena adanya faktor tarif ekspor.

Wafi menyebut, kebijakan ini akan lebih positif untuk emiten yang penjualannya dominan oleh pasar domestik seperti PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), dibandingkan dengan emiten yang banyak melakukan ekspor seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).

Wafi menyematkan rekomendasi beli saham AALI dan LSIP, dengan target harga masing-masing Rp 14.100 dan Rp 2.160.

Sementara Hoe Lee Leng menyematkan rating netral terhadap sektor perkebunan sawit. Sejumlah rekomendasi untuk saham emiten CPO dalam negeri antara lain netral untuk saham AALI dengan target harga Rp 11.820 dan beli LSIP dengan target harga Rp 1.690.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×