Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan produk turunan dari maksimal US$ 375 per ton menjadi US$ 675 per ton.
Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan batas atas pungutan ekspor maksimal dari semula US$ 1.000 per ton menjadi US$ 1.500 per ton. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 23/PMK.05/2022.
Kewajiban pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) dan kewajiban harga domestik atau domestic price obligation (DPO) akan dihapus guna mendukung pajak dan retribusi ekspor yang lebih tinggi, sejalan dengan harga global yang lebih tinggi.
Dalam laporan sektor perkebunan regional, Jumat (18/3), analis Maybank Investment Bank Ong Chee Ting menilai, rencana baru ini menjadi solusi yang lebih baik untuk mengatasi kesediaan pasokan daripada menggunakan skema DMO dan DPO, mengingat sifat industri yang terfragmentasi.
Baca Juga: Petani Minta Program B30 Diturunkan Jadi B20 untuk Atasi Kelangkaan Minyak Goreng
“Kami meyakini pemerintah menaikkan pungutan ekspor CPO untuk membantu mendanai subsidi minyak goreng yang sangat dibutuhkan,” tulis Ong Chee Ting, Jumat (18/3).
Menurut laporan media, pemerintah Indonesia mengalokasikan Rp 7,28 triliun atau sekitar US$ 500 juta dari pungutan ekspor untuk menyubsidi minyak goreng curah dan tidak bermerek.
Setiap bulan, sekitar 202 juta liter minyak goreng akan disubsidi selama 6 bulan untuk menjaga harga berada di atau di bawah level Rp 14.000 per liter.
Nilai subsidi diperkirakan Rp 6.398 per liter, jauh lebih tinggi dari perkiraan awal Maybank. Ini kemungkinan untuk menutupi biaya distribusi ke daerah-daerah terpencil di seluruh negeri, dan akan ditinjau setiap dua minggu.
Namun, jika rencana kenaikan pajak tersebut lolos, laba bersih (net receipt) teoritis pekebun akan lebih rendah jika harga CPO berada di atas US$ 1.000 per ton.